Sengketa Warisan Krisis Moneter, CMNP Tuntut Rp119 Triliun ke MNC Group
- Gugatan Rp119 triliun yang membuka kotak pandora lama. Manuver hukum CMNP melawan Harry Tanoe dalam sengketa NCD yang berakar puluhan tahun silam.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Pertarungan hukum antara dua raksasa bisnis Indonesia kembali memanas dan menjadi sorotan utama publik. Di satu pihak, ada pengusaha jalan tol Jusuf Hamka melalui perusahaannya PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP). Di pihak lain, berdiri konglomerat media Harry Tanoesoedibjo.
Perseteruan ini, yang akarnya tertanam sejak era krisis moneter 1999, kini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PT MNC Asia Holding Tbk (BHIT), perusahaan induk milik Harry Tanoe, duduk sebagai pihak tergugat dalam kasus yang mengungkit kembali transaksi finansial puluhan tahun lalu.
Taruhannya sangat besar, sebab CMNP melayangkan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi yang fantastis. Nilai total yang diminta kepada majelis hakim mencapai Rp119 triliun, menjadikannya salah satu sengketa korporasi dengan nilai terbesar dalam sejarah hukum bisnis di Indonesia.
Akar Permasalahan: NCD Gagal Bayar dan Eskalasi Hukum
Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 142/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst, berpusat pada transaksi surat berharga Negotiable Certificate of Deposit (NCD). Tuntutan CMNP terdiri dari ganti rugi materiel sebesar Rp103 triliun, yang merupakan akumulasi nilai pokok beserta bunganya selama lebih dari dua dekade.
Selain itu, pihak CMNP juga menuntut ganti rugi imateriel senilai Rp16 triliun. Tuntutan ini diajukan sebagai kompensasi atas kerusakan reputasi perusahaan serta hilangnya berbagai potensi keuntungan bisnis yang dialami CMNP akibat dari kasus yang telah berlangsung sangat lama tersebut.
Kisah ini berawal pada tahun 1999, saat CMNP menempatkan dananya dalam bentuk NCD yang diterbitkan oleh Unibank. Menurut CMNP, transaksi investasi ini diatur serta dijamin oleh pihak yang terafiliasi langsung dengan Harry Tanoesoedibjo pada masa itu, sehingga menimbulkan kepercayaan.
Namun, harapan keuntungan berubah menjadi kerugian besar saat pemerintah melikuidasi Unibank pada Oktober 2001. Akibatnya, NCD senilai ratusan miliar rupiah milik CMNP tidak dapat dicairkan dan menjadi surat berharga tanpa nilai, sehingga memicu perselisihan hukum yang panjang ini.
Merasa dirugikan, CMNP meyakini tanggung jawab tidak berhenti pada Unibank yang kini telah tiada. Mereka berpendapat bahwa pihak yang mengatur dan menjamin transaksi tersebut juga harus ikut bertanggung jawab atas seluruh kerugian yang ditimbulkan akibat gagalnya investasi NCD ini.
Tak hanya menempuh jalur perdata, CMNP juga telah membawa kasus ini ke ranah pidana. Laporan polisi dilayangkan ke Polda Metro Jaya, menuduh Harry Tanoesoedibjo terlibat dalam dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait sengketa ini.
- Baca Juga: Babak Baru Utang Negara ke CMNP, Jusuf Hamka Hanya Dibayar Rp78 Miliar
Perang Argumen dan Pembelaan di Meja Hijau
Proses persidangan kini menjadi panggung adu argumen hukum dari kedua belah pihak yang berseteru. Kuasa hukum CMNP bersikeras bahwa gugatan ini merupakan langkah krusial untuk mencari keadilan dan kepastian hukum atas dana perusahaan yang telah hilang selama puluhan tahun.
Untuk menjamin tuntutannya dapat terpenuhi jika menang, pihak CMNP telah mengajukan permohonan sita jaminan. Langkah hukum ini ditujukan terhadap sejumlah aset vital yang dimiliki oleh pihak tergugat, baik Harry Tanoesoedibjo secara pribadi maupun aset milik PT MNC Asia Holding Tbk.
Di seberang meja, kubu Harry Tanoesoedibjo memberikan perlawanan sengit dengan tiga pilar pembelaan utama. Mereka menyatakan bahwa gugatan yang dilayangkan oleh CMNP dianggap telah kedaluwarsa (verjaring) karena peristiwanya terjadi lebih dari 25 tahun yang lalu, melebihi batas waktu.
Selain itu, gugatan juga dinilai salah alamat (error in persona). Menurut mereka, satu-satunya entitas yang bertanggung jawab adalah Unibank sebagai penerbit NCD. Kewajiban Unibank yang telah dilikuidasi seharusnya telah selesai melalui program penjaminan pemerintah saat itu dan bukan lagi urusan mereka.
Terakhir, mereka menegaskan posisi MNC Group hanyalah sebagai arranger atau broker transaksi. Tugas mereka diklaim sudah selesai sepenuhnya saat transaksi terjadi pada tahun 1999, sehingga tidak memiliki tanggung jawab hukum lebih lanjut atas gagal bayar NCD dari Unibank tersebut.
Kasus ini menjadi cerminan kompleksitas penyelesaian sengketa warisan krisis finansial masa lalu. Publik dan pelaku pasar kini menanti dengan saksama bagaimana pengadilan akan menimbang bukti dan argumen dari kedua belah pihak dalam salah satu sengketa bisnis terbesar di Indonesia ini.

Alvin Bagaskara
Editor
