Fenomena Saham Haji Isam: Sentimen Kalahkan Fundamental di Pasar?
- Fenomena saham Haji Isam bikin heboh pasar modal. PGUN, JARR, dan TEBE reli ribuan persen, sentimen mengalahkan fundamental. Investor wajib waspada.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Pasar saham Indonesia tengah dilanda demam Haji Isam. Tiga emiten yang terafiliasi dengan pengusaha asal Kalimantan, Andi Syamsuddin Arsyad, ini, PGUN, JARR, dan TEBE, mencatatkan reli harga yang benar-benar di luar nalar, bahkan seringkali harus dihentikan sementara oleh bursa karena kenaikan yang terlalu liar.
Saham PT Pradiksi Gunatama Tbk (PGUN) menjadi bintang utamanya, meroket hingga 4.239% sejak awal tahun dan sempat menyentuh harga Rp18.400. Fenomena ini secara langsung melambungkan kekayaan Haji Isam dari tiga saham ini saja menembus Rp101,3 triliun.
Namun, di balik euforia ini, tersimpan sebuah anomali yang sangat tajam antara pergerakan harga saham dengan kinerja fundamentalnya. Lantas, apa sebenarnya yang menjadi pemicu di balik reli ini, dan apa artinya bagi para investor? Mari kita bedah tuntas.
1. Siapa Sebenarnya Haji Isam?
Nama Haji Isam mungkin masih terdengar baru bagi sebagian investor di Jakarta. Namun, di Kalimantan, ia adalah seorang pebisnis kelas kakap. Berangkat dari Batulicin, ia membangun imperium bisnisnya, Jhonlin Group, yang menggurita di berbagai sektor.
Mulai dari pertambangan batu bara, infrastruktur, perkapalan, perkebunan kelapa sawit, hingga pabrik biodiesel dan gula. Namanya semakin menggema secara nasional setelah ia sering terlihat hadir di acara-acara penting kenegaraan, bahkan ikut dalam lawatan Presiden Prabowo.
2. Tsunami Cuan di Saham PGUN dan JARR
Tsunami cuan terbesar datang dari dua emiten sawitnya. Saham PGUN meroket 4.239% year-to-date, menjadikannya emiten dengan kenaikan tertinggi kedua di BEI tahun ini. Kapitalisasi pasarnya bahkan sempat menembus Rp105 triliun, melampaui raksasa sawit lainnya.
Tidak mau kalah, saham PT Jhonlin Agro Raya Tbk (JARR) juga terbang 1.270% dan menjadi emiten dengan kenaikan tertinggi kelima. Kenaikan gila-gilaan inilah yang membuat total kekayaan Haji Isam dari saham publik saja kini melampaui sejumlah nama besar yang sudah lebih dulu masuk dalam daftar orang terkaya versi Forbes.
3. Pendorong Fundamental yang Solid (untuk PGUN & JARR)
Reli pada saham PGUN dan JARR ternyata tidak sepenuhnya kosong. Keduanya memiliki fundamental yang sangat solid. Laba bersih PGUN pada semester I-2025 meroket 690% menjadi Rp83,53 miliar, didorong oleh lonjakan penjualan CPO dan inti sawit.
Kinerja mentereng juga ditunjukkan oleh JARR. Laba bersihnya pada paruh pertama tahun ini melonjak 82,6% menjadi Rp160,39 miliar. Lonjakan ini terutama didorong oleh penjualan ke PT Pertamina Patra Niaga yang naik drastis 146%.
4. Suspensi Bursa dan Anomali Saham TEBE
Namun, reli yang terlalu liar ini membuat bursa harus turun tangan. Saham JARR dan TEBE saat ini masih berada dalam status suspensi. Saham PGUN bahkan sudah tiga kali masuk radar UMA (Unusual Market Activity) dan tiga kali disuspensi tahun ini.
Anomali paling tajam terlihat pada saham PT Dana Brata Luhur Tbk (TEBE). Meskipun harga sahamnya ikut terbang 351%, fundamentalnya justru sedang melemah. Laba bersih TEBE pada semester I-2025 tercatat anjlok 35,50%.
5. Apa Artinya Ini Bagi Investor?
Fenomena tiga saham Haji Isam ini adalah pelajaran penting bahwa di pasar modal, sentimen dan cerita terkadang bisa jauh lebih kuat daripada fundamental dalam jangka pendek. Nama besar Haji Isam dan narasi bisnisnya yang menggurita terbukti mampu menjadi pemicu yang membakar harga sahamnya.
Bagi investor, ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ada potensi keuntungan yang luar biasa besar jika bisa menunggangi gelombang sentimen ini. Namun di sisi lain, ada risiko yang tak kalah besar, terutama pada saham yang kinerjanya tidak sejalan dengan fundamentalnya.
Kunci utamanya adalah memahami apa yang sedang Anda beli: apakah fundamental perusahaan yang solid, atau sekadar sentimen yang melekat pada figur sang pemilik. Keduanya bisa memberikan keuntungan, namun dengan tingkat risiko yang sangat berbeda.

Alvin Bagaskara
Editor
