Sederet Kontroversi di Balik Buku Sejarah Indonesia
- Kementerian Kebudayaan meluncurkan buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” yang disusun 123 sejarawan. Publik menyoroti potensi pemutihan sejarah dan polemik HAM.

Muhammad Imam Hatami
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID - Kementerian Kebudayaan resmi meluncurkan buku rujukan terbaru berjudul “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global”. Peluncuran dilakukan di Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Senin, 15 Desember 2025, dan disebut sebagai upaya memperbarui narasi sejarah nasional Indonesia.
Buku sejarah nasional ini disusun oleh 123 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Penyusunan melibatkan akademisi lintas daerah dan latar belakang keilmuan, dengan tujuan menghadirkan gambaran umum perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam satu kerangka besar.
Buku tersebut terdiri dari sepuluh jilid yang merangkum sejarah Indonesia sejak masa prasejarah hingga tahun 2024. Narasi disusun dengan pendekatan dinamika kebangsaan dan interaksi Indonesia dalam arus global.
"Jadi ini bukan ditulis oleh saya, oleh Pak Restu, atau oleh orang Kementerian Kebudayaan. Kita memfasilitasi para sejarawan untuk menulis sejarah. Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lantas bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?" jelas Menteri Kebudayaan, Fadli Zon di Jakarta, dikutip Senin, 15 Desember 2025.
Baca juga : Jelang IPO, Valuasi SpaceX Melonjak ke US$800 Miliar
Kementerian Kebudayaan menyebut buku ini akan menjadi salah satu rujukan resmi dalam memahami sejarah nasional. Buku tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, serta perumusan kebijakan kebudayaan.
Dalam pernyataan resminya, Kementerian Kebudayaan menyampaikan, dengan tajuk ‘Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global’ yang disusun oleh 123 sejarahwan dari 34 perguruan tinggi.”
Peluncuran buku ini disampaikan langsung oleh Fadli Zon, yang menjelaskan latar belakang serta tujuan penyusunan buku sejarah nasional tersebut.
Seret Serangkaian Kontroversi
Namun, kehadiran buku ini juga memicu serangkaian kontroversi di kalangan sejarawan, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia. Sejumlah pihak menilai buku tersebut berpotensi melakukan “pemutihan” (whitewashing) sejarah, khususnya terhadap peristiwa-peristiwa kelam masa lalu.
Kritik terutama diarahkan pada pembahasan periode kekerasan politik, konflik antara negara dan warga, serta pelanggaran HAM berat. Kekhawatiran muncul bahwa narasi sejarah disajikan lebih lunak dan normatif demi menjaga stabilitas politik.
Salah satu isu paling sensitif adalah peristiwa 1965–1966. Sejumlah kritik menyebut bahwa korban kekerasan massal tidak dibahas secara proporsional dan penjelasan masih cenderung negara-sentris. Isu ini dinilai krusial karena menyangkut jutaan korban, stigma ideologis, serta trauma lintas generasi.
Kontroversi juga mencuat terkait kerusuhan Mei 1998, khususnya mengenai kekerasan seksual. Pernyataan Menteri Kebudayaan sebelumnya yang menyebut isu “mass rape” sebagai rumor atau hearsay memicu kekhawatiran bahwa narasi dalam buku dapat mengecilkan atau mengaburkan fakta pelanggaran HAM. Aktivis HAM menilai hal tersebut berisiko menghapus pengalaman korban dari sejarah resmi negara.
Selain itu, buku ini dinilai masih menempatkan negara sebagai aktor utama sejarah. Kritik menyebut peran rakyat, gerakan sosial, perempuan, kelompok minoritas, dan daerah belum mendapat ruang yang seimbang. Narasi alternatif di luar versi resmi negara dinilai belum sepenuhnya terakomodasi.
Baca juga : Prediksi BlackRock: Trump Bakal Rangkul Energi Terbarukan Demi Ambisi AI
Istilah “penulisan ulang sejarah nasional” yang melekat pada proyek ini juga menuai kekhawatiran. Sejumlah akademisi menilai sejarah seharusnya terus direvisi secara terbuka berdasarkan temuan ilmiah, bukan ditetapkan sebagai kebenaran final versi negara. Mereka mengingatkan risiko sejarah dijadikan alat legitimasi kekuasaan dan lahirnya versi tunggal sejarah.
Kritik lain menyasar pada aspek transparansi. Meski disebut telah melalui uji publik, sejumlah pihak menilai draft final buku tidak sepenuhnya terbuka dan masukan publik tidak diketahui secara jelas apakah telah diakomodasi.
Kekhawatiran juga muncul bahwa buku ini akan dijadikan rujukan utama atau semi-wajib dalam sistem pendidikan nasional, berpotensi menggeser buku-buku sejarah lain yang lebih kritis. Para pendidik menekankan pentingnya pluralitas sumber dalam pengajaran sejarah.
Di sisi lain, posisi Menteri Kebudayaan yang juga merupakan tokoh politik aktif turut menjadi sorotan. Sejumlah kritik menilai sulit memisahkan kepentingan akademik dan politik, terutama ketika buku sejarah menyentuh periode-periode yang masih berdampak langsung pada dinamika politik Indonesia saat ini.

Chrisna Chanis Cara
Editor