Profil Idham Chalid: Kyai, Ketua DPR Termiskin
- Profil lengkap Idham Chalid, ulama dan politisi NU yang menjabat Ketua Umum PBNU terlama, Wakil Perdana Menteri, hingga Ketua DPR/MPR. Dikenal sebagai “politikus gabus” yang adaptif dan akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Di tengah panggung politik Indonesia yang kini tengah bergejolak, nama Idham Chalid menjadi salah satu sosok kunci yang mampu bertahan lintas zaman. Dari masa revolusi, Orde Lama, hingga Orde Baru, ulama asal Kalimantan Selatan ini selalu punya cara untuk menempatkan dirinya dan menjaga kepentingan umat Islam. Tak heran jika ia dijuluki sebagai “politikus gabus” lentur, luwes, namun selalu mengapung di permukaan.
Idham Chalid lahir di Satui, Kalimantan Selatan, pada tanggal 27 Agustus 1921. Ia tumbuh dalam keluarga religius, sang ayah merupakan penghulu dari Amuntai. Sejak kecil, Idham dididik dalam tradisi keislaman yang kuat. Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) Amuntai dan Madrasah Ar-Rasyidiyyah.
Namun, titik balik perjalanan intelektualnya terjadi saat ia menempuh pendidikan di Pondok Modern Gontor, Jawa Timur. Di sana, ia dikenal sebagai santri yang cerdas dan berwawasan luas. Kelak, dunia internasional juga mengakui kapasitasnya, Universitas Al-Azhar, Kairo, menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa pada 1957.
Baca juga : Pendaftaran TKA 2025 Membeludak, Bisa Jadi Nilai Jalur Prestasi ke Universitas
Kiprah di Nahdlatul Ulama
Karier organisasi Idham dimulai ketika NU memisahkan diri dari Masyumi pada 1952. Empat tahun kemudian, ia dipercaya menjadi Ketua Umum PBNU, jabatan yang ia pegang selama 28 tahun (1956–1984), terpanjang dalam sejarah organisasi itu.
Di tangannya, NU mampu melewati masa-masa sulit, dari turbulensi politik Orde Lama, hingga penataan ulang pada masa Orde Baru. Ia juga menjadi motor dalam pendirian Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973 dan menjabat sebagai ketuanya sampai 1989.
Peran Idham sudah terasa sejak masa revolusi. Ia sempat bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK), ditangkap Belanda pada 1949, lalu dibebaskan di tahun yang sama. Sejak itu, ia menempuh jalur politik formal dan menjadi salah satu tokoh kunci dalam politik Islam Indonesia.
Meski kerap dikritik karena dianggap “terlalu dekat” dengan penguasa, strateginya justru membuat NU tetap eksis ketika banyak organisasi lain redup di bawah bayang-bayang Orde Baru.
Di luar politik, Idham Chalid juga punya perhatian besar pada pendidikan. Ia mendirikan Perguruan Islam Darul Ma’arif di Jakarta serta Pendidikan Yatim Darul Qur’an di Bogor. Ia pun sempat mengajar di Pondok Modern Gontor dan Normal Islam School Amuntai, membuktikan dirinya bukan hanya politisi, tetapi juga pendidik sejati.
Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010 di Jakarta pada usia 88 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pondok Pesantren Darul Qur’an, Cisarua, Bogor. Setahun setelah kepergiannya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional. Pada tahun 2016, wajahnya resmi diabadikan dalam uang kertas Rp5.000 edisi baru.
Warisan Idham Chalid bukan hanya berupa lembaga pendidikan atau jabatan politik yang pernah diembannya. Lebih dari itu, ia meninggalkan pelajaran tentang strategi politik yang adaptif dan kemampuan menjembatani kepentingan umat dengan realitas kekuasaan negara.
Di mata sebagian orang, ia mungkin seorang “politikus gabus.” Namun dalam sejarah Indonesia, justru keluwesannya itu yang membuatnya mampu menjaga eksistensi NU dan memberi kontribusi besar bagi bangsa.
Baca juga : Memahami 8 Tuntutan Ekonomi Celios dan Dampaknya Bagi Warga
Jejak Politik di Pemerintahan
Idham Chalid bukan hanya tokoh ormas, tapi juga politisi ulung. Karier politiknya mencatatkan sederet jabatan penting:
- Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda (1956–1959)
- Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (1968–1973)
- Ketua DPR/MPR periode pertama pasca-Pemilu 1971
- Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (1978–1983)

Chrisna Chanis Cara
Editor
