Mengapa Jumlah Trainee K-pop Menurun Meski Ada Investasi yang Besar?
- Agensi K-pop telah meningkatkan investasi mereka terhadap secara drastis para trainee, namun jumlah trainee di industri justru terus menurun dengan cepat.

Distika Safara Setianda
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – JYP Entertainment menghabiskan 1,12 miliar won tahun lalu untuk mengembangkan talenta baru. Angka ini muncul dalam laporan bisnis tahunan yang diajukan tahun ini.
Perusahaan tersebut mengoperasikan divisi pengembangan trainee pemula yang menyeleksi trainee melalui audisi dan memberikan pelatihan vokal, tari, serta bahasa asing. Pejabat dari dua agensi besar menyebutkan sebagian besar perusahaan biasanya memiliki sekitar 20 trainee.
Jika JYP memiliki kurang lebih 30 trainee, ini berarti perusahaan diperkirakan mengeluarkan sekitar 3,12 juta won per trainee setiap bulannya untuk biaya pelatihan dan keperluan lainnya, sebuah investasi yang tergolong besar.
Dari sudut pandang agensi, para trainee adalah mesin penggerak pertumbuhan di masa depan, sehingga investasi sejak dini menjadi penting. Pengeluaran JYP untuk pengembangan trainee juga meningkat sekitar 30% dari 850 juta won pada tahun 2023.
Kesenjangan Kelas yang Semakin Besar di Dunia K-pop
Agensi K-pop telah meningkatkan investasi mereka terhadap secara drastis para trainee, namun jumlah trainee di industri justru terus menurun dengan cepat. Tren ini muncul dalam liputan berita terbaru yang mengkaji bagaimana narasi “dari miskin menjadi kaya” yang dulu melekat pada K-pop kini mulai memudar, seiring dengan semakin jelasnya kesenjangan kelas.
Melansir dari The Kore Times, saat ini, semakin banyak trainee yang berasal dari latar belakang kaya, bahkan orang tua sudah mengirim anak mereka ke kelas persiapan trainee sejak sebelum mereka resmi bergabung dengan sebuah agensi.
Kisah tersebut merupakan bagian dari seri “Reversal” Hankook Ilbo, yang menyoroti momen-momen perubahan dalam budaya populer yang mencerminkan pergeseran sosial dan budaya yang lebih luas.
Menurut survei terbaru dari Korea Creative Content Agency tentang industri budaya pop dan seni, jumlah trainee K-pop di berbagai agensi turun menjadi 1.170 orang pada tahun 2022, turun 725 dari 1.895 pada tahun 2020.
Itu berarti terjadi penurunan tajam sebesar 38,3% hanya dalam dua tahun. Meski anak-anak dari keluarga kaya yang sering disebut sebagai “gold spoon” serta generasi kedua dari kalangan entertainer seperti Anton RIIZE dan Sieun STAYC masih terus debut di grup idol, jumlah trainee dari kalangan biasa justru menurun drastis.
Hal ini terjadi bahkan ketika pasar K-pop memasuki masa kejayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan pengaruh global yang besar dan pendapatan yang melonjak, yang ditandai dengan nominasi “APT.” dan “Golden” untuk Song of the Year di Grammy Awards pada bulan Februari.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya beban biaya pengembangan trainee.
Pelatihan yang Melelahkan
Satu detail yang sangat meresahkan muncul. Persentase peserta pelatihan yang mengundurkan diri secara sukarela setelah bergabung dengan sebuah agensi mencapai 34,4%, naik 3,4 poin persentase dari tahun 2020. Lalu, mengapa semakin banyak remaja yang menyerah pada impian mereka?
Meskipun agensi-agensi besar telah memperbaiki lingkungan pelatihan, banyak perusahaan lain yang memiliki kondisi kerja yang buruk.
Menurut disertasi doktoral yang ditulis oleh Kang Won-rae, anggota duo tari Clon, berjudul “Permasalahan dan Perbaikan Sistem Trainee Idola K-Pop (2025)” sekitar tujuh hingga delapan dari sepuluh trainee remaja perempuan mengalami gangguan siklus menstruasi.
“Karena masih muda, mereka belum sepenuhnya memahami betapa seriusnya dampak berhentinya menstruasi. Agensi tidak terlalu peduli dengan ketidakteraturan menstruasi di kalangan pada trainee perempuan. Yang dianggap penting hanyalah memiliki bentuk tubuh yang sesuai,” kata salah satu trainee.
Trainee lain juga menyoroti buruknya manajemen yang tidak terorganisir. “Kami hanya disuruh berlatih sendiri dari pukul 1 siang hingga 11 malam. Saya pikir akan ada panduan atau kelas terstruktur dengan pelatih, tetapi ternyata tidak ada.”
Banyak trainee juga mengeluhkan tekanan psikologis yang berat. “Kami harus menahan napas saat menari, jadi kebanyakan trainee mengalami hiperventilasi. Setelah berkali-kali mengalaminya, saya sempat berpikir, ‘Saya bisa saja benar-benar mati karena ini.’”
Para pejabat industri mengonfirmasi proses persiapan menjadi idol sangatlah berat. Di salah satu agensi besar, sistem ini bahkan dikenal dengan sebutan “nine to ten.” Trainee datang pukul 9 pagi, menyerahkan ponsel mereka, lalu menghabiskan pagi hari untuk belajar bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya.
Setelah makan siang, mereka mengikuti pelajaran vokal dan tari, kemudian melanjutkan latihan individu. Kegiatan biasanya baru berakhir sekitar pukul 10 malam. Bahkan dengan jadwal yang begitu padat, kesempatan untuk debut tetap sangat kecil.
Penyanyi-penulis lagu Korea-Amerika, EJAE, yang lagunya “Golden” menjadi sensasi global menjalani pelatihan selama 12 tahun di SM Entertainment, tetapi tidak pernah debut.
Tekanan Berat dari Industri
Sebagian besar trainee masih berusia remaja. Seorang narasumber dari industri mengatakan, setelah melewati usia 20 tahun, banyak dari mereka mulai merasa dianggap terlalu tua sehingga memilih mundur.
Dalam lingkungan yang menganggap masa muda sebagai segalanya, para peserta pelatihan remaja tanpa dukungan finansial yang kuat dari keluarga kesulitan mempersiapkan jalur karier alternatif.
Dibandingkan teman sebaya yang menjalani pendidikan formal secara penuh, mereka justru lebih cepat terjun ke masyarakat dan menghadapi ketidakpastian yang lebih besar tentang masa depan mereka.
Masuk fakultas kedokteran hampir pasti mengarah pada profesi dokter, tetapi bergabung dengan agensi K-pop tidak menjamin akan debut sebagai idola. Jumlah trainee yang gagal debut jauh lebih banyak dibandingkan yang berhasil.
Seiring dengan meningkatnya polarisasi kelas dalam industri, trainee yang tidak memiliki jaring pengaman menjadi semakin rentan. Alih-alih hanya berfokus pada masalah seperti lesunya pasar televisi dan film dalam negeri, industri harus memikirkan cara mendukung kemandirian sosial generasi muda ini. Agensi besar dapat memulainya dengan mencoba program pendidikan vokasi yang lebih beragam.
“Saya berharap ada jalur alternatif, seperti pelatihan kerja, bagi mereka yang gagal debut dan keluar dari perusahaan. Kebanyakan akhirnya berpindah-pindah dari satu pekerjaan paruh waktu ke pekerjaan lainnya,” ujar salah satu trainee yang terlibat dalam disertasi Kang.
Ekosistem K-pop yang sehat mungkin baru bisa terwujud jika para remaja memiliki lingkungan yang aman untuk mengejar impian mereka.

Distika Safara Setianda
Editor