Jungen Joint, Burger Rumahan yang Punya Filosofi di Tengah Hiruk-Pikuk Jakarta
- Jungen Joint dikenal sebagai kedai burger rumahan yang menawarkan cita rasa lezat sekaligus pengalaman menyenangkan bagi setiap pengunjung. Setiap sudut tempat ini memang tampak sederhana, tetapi tetap menghadirkan kesan mewah.

Distika Safara Setianda
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Jakarta tak pernah tidur. Hiruk-pikuk aktivitasnya berlangsung selama 24 jam sehari. Di antara gedung-gedung tinggi dan padatnya lalu lintas, ada satu tempat menarik untuk menikmati segigit burger rumahan yang rasanya mengguncang lidah.
Jungen Joint dikenal sebagai kedai burger rumahan yang menawarkan cita rasa lezat sekaligus pengalaman menyenangkan bagi setiap pengunjung. Setiap sudut tempat ini memang tampak sederhana, tetapi tetap menghadirkan kesan mewah.
Hal ini karena Jungen Joint muncul sebagai kedai burger yang unik di Jakarta, dengan menu yang disajikan menggunakan berbagai bahan premium.
Restoran burger ini beroperasi setiap Selasa hingga Minggu, mulai pukul 11.00 hingga 17.00 WIB. Semua menu yang disajikan dijamin bebas babi dan lemak babi. Jungen Joint terletak di antara rumah-rumah tua berusia puluhan tahun di Gang Kelinci.
Tempatnya yang tersembunyi, tanpa papan nama yang menandai keberadaannya. Satu-satunya petunjuk yaitu fasad sederhana rumah tua dengan dinding yang mulai menguning dan pintu gerbang kawat putih.

Atau, mungkin tanda itu muncul dari sambutan hangat ibu-anak yang mengelola tempat makan ini, Dewi Kurniawati dan Juan Antonino Dharmajungen. Jungen Joint, yang berlokasi di Pasar Baru, Jakarta Pusat, sebenarnya merupakan rumah bagi generasi pertama keluarga Dharmajungen (1920-an).
Nama Jungen berarti ‘anak laki-laki’ dalam bahasa Jerman, melambangkan semangat muda keluarga Dharmajungen yang kini telah memasuki generasi ketiga dari keluarga imigran ini.
Jungen Joint mengambil inspirasi dari lingkungan sekitarnya untuk menjadi sebuah kedai keluarga yang sederhana, hanya dilengkapi sofa retro, meja untuk dua orang, dan meja tinggi dengan empat kursi yang menghadap jalan yang sibuk.
Menu yang ditawarkan di sini antara lain signature burger, potato wedges, Jungen Signature, Root Beer, French fries, The Franck, The Franck dengan potato wedges, serta falafel.
Untuk harganya masih ramah di kantong, yaitu Rp60 ribu untuk Jungen Signature, lalu ada The Franck dengan harga Rp72 ribu, Jungen+ dibandrol Rp90 ribuan, dan French fries Rp25 ribuan.
Jika kalian menyukai smash burger klasik, cobalah Jungen Signature, di mana perpaduan rempah Timur Tengah memberikan aroma hangat dan cita rasa khas pada patty spesial mereka.
Burger ini dilengkapi dengan seiris keju cheddar dan saus spesial ala thousand island buatan Ibu Dewi, menambahkan sentuhan manis dan tekstur lembut, semuanya disatukan dalam roti brioche buatan rumah.
Untuk sensasi yang lebih menggigit, pilih double cheeseburger Jungen+ dengan dua lapis daging sapi. Atau, nikmati The Franck, di mana burger signature ditingkatkan dengan tambahan onion rings, telur mata sapi, dan beef bacon, menciptakan kombinasi tekstur yang harmonis.
Meskipun identik dengan fast food, burger di Jungen Joint dan suasana hangatnya membuat pengunjung tidak perlu terburu-buru.
Restoran ini dijalankan oleh ibu dan anak yang membuat burger secara homemade. Koki sekaligus pemiliknya sendiri yang menyiapkan semua menu. Karena itu, ruangannya tidak terlalu besar, dengan kapasitas dine-in hanya untuk delapan orang.
Berlokasi di Jl. Kelinci Raya No.30, Ps. Baru, Kecamatan Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat, setiap harinya, restoran ini hanya menyajikan jumlah burger terbatas, yaitu sebanyak 30 porsi. Karena itu, jam operasionalnya tidak menentu, begitu stok burger habis, restoran akan ditutup.
Lebih dari sekadar soal makanan, Jungen Burger juga mencerminkan filosofi hidup pemiliknya, seorang penyintas kanker. Keputusan untuk membatasi produksi bukan hanya demi kualitas, tetapi juga untuk menjaga work-life balance.
Dengan membatasi jumlah porsi, pemilik bisa lebih fokus pada kesehatan, keluarga, dan waktu pribadi tanpa mengorbankan standar restoran. Restoran ini menjadi contoh bagaimana bisnis kuliner bisa berjalan berkelanjutan, mindful, dan tetap manusiawi.

Distika Safara Setianda
Editor