Ironi Tumbler, Dari Gerakan Lingkungan jadi Simbol Status Sosial
- Tumbler awalnya didorong gerakan anti-plastik (Gerakan Satu Juta Tumbler), namun kini jadi simbol status sosial. Studi dan wawancara ungkap fenomena FOMO dan konsumtif di baliknya.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Keberadaan tumbler belakangan menjadi sorotan setelah kasus hilangnya sebuah tumbler yang merugikan salah satu pegawai PT KAI. Dari kasus tersebut, keberadaan tumbler yang digunakan sebagai status sosial semakin diyakini dan disadari banyak orang.
Tren penggunaan tumbler memang tengah menggejala di kalangan remaja hingga orang dewasa. Mulai dari berbagai bentuk warna hingga jenis yang beragam, para konsumen dapat memilih tumbler sesuai dengan keinginan.
Sebagai informasi, tumbler merupakan tempat atau wadah minuman yang biasa digunakan untuk menyimpan air, jus, teh hangat, dan lainnya. Nama tumbler sendiri dianggap sebagai wadah ramah lingkungan karena terbuat dari bahan-bahan yang didaur ulang, sehingga mengurangi penggunaan sampah plastik di lingkungan masyarakat.
Pemerintah sendiri belum lama ini memiliki komitmen mengurangi limbah plastik yang beredar di masyarakat. Salah satu contoh dari komitmen tersebut dilakukan melalui Gerakan Satu Juta Tumbler yang didukung Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Gerakan tersebut menargetkan masyarakat untuk beralih ke penggunaan tumbler dan mengurangi penggunaan sedotan maupun botol plastik. Tumbler memiliki sederet keuntungan, di antaranya, mampu menyimpan minuman dingin maupun hangat selama beberapa jam bahkan satu hari.
Brand seperti Stanley, Corkcicle, LocknLock, dan lainnya berlomba-lomba mengeluarkan jenis terbaru untuk menarik pasar serta perhatian masyarakat. Akibatnya, tren tumbler ini sudah tidak lagi dikatakan sebagai bentuk penghematan, melainkan sebagai status sosial.
Harga dari masing-masing tumbler juga beragam, mulai dari ratusan hingga jutaan per satuan. Kini, banyak masyarakat yang beralih dan menjadikan tumbler sebagai ajang untuk gengsi.
Melansir dari jurnal Dinamika Gaya Hidup dan Identitas Sosial pada remaja di Tangerang Selatan, yang diteliti oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditemukan hasil penggunaan tumbler dikaitkan sebagai simbol status sosial dan identitas diri.
Mereka membeli dan menggunakan tumbler untuk menunjukkan identitas sosial dihadapan teman serta lingkungan sekitar. Fenomena tersebut sudah beredar di kalangan masyarakat dan sudah beradaptasi menjadi simbol status sosial.
Wawancara Trenasia kepada sejumlah anak muda juga mengonfirmasi hal tersebut. Mereka awalnya membeli tumbler karena ikut-ikutan, di samping melihat manfaatnya. “Lebih suka pake tumbler karena manfaat dan FOMO,” ungkap seorang anak muda asal Jakarta, Udo, kepada Trenasia.
Namun Udo menyebut masing-masing tumbler yang dia miliki ada fungsinya. "Untuk pergi, olahraga, buat minum kopi, dan minum air putih,” kilahnya. Anak muda lain, Eka tak menampik ikut-ikutan dalam tren tumbler. “FOMO karena lagi trend. Namun sebenarnya beli tumbler juga biar lebih irit, enggak perlu beli minum terus,” ujarnya.
Dirinya mengakui saat ini tumbler banyak digunakan sebagai status sosial. “Setuju, karena sekarang banyak yang beli tumbler bukan buat dipakai, tapi buat keliatan keren atau ikut tren,” ujar Eka.

Chrisna Chanis Cara
Editor
