Di Balik Kementerian Haji Baru: Mengingat 2 Dosa Korupsi Dana Umat
- DPR ketok palu UU Kementerian Haji dan Umrah. Di balik era baru ini, ada sejarah kelam korupsi dana haji oleh dua mantan menteri agama.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi telah 'mengetok palu' persetujuan revisi Undang-Undang Haji dan Umrah. Keputusan dalam rapat paripurna hari ini, Selasa, 26 Agustus 2025, menjadi landasan hukum bagi transformasi besar: lahirnya Kementerian Haji dan Umrah.
Langkah bersejarah ini menandai dimulainya era baru dalam tata kelola haji di Indonesia. Pembentukan sebuah kementerian khusus diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel, menjawab keresahan publik selama ini.
Namun, di balik optimisme ini, ada sejarah kelam yang menjadi latar belakangnya. Pembentukan kementerian ini tidak lepas dari noda hitam korupsi yang pernah menjerat dua mantan Menteri Agama, menggarong uang umat hingga triliunan rupiah.
1. Dosa Said Agil: Selewengkan Dana Abadi Umat Rp719 Miliar
Skandal pertama meledak pada periode 2005-2006, menyeret Menteri Agama saat itu, Said Agil Husin Al Munawar. Ia terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyelewengkan Dana Abadi Umat (DAU) dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).
Modus utama yang ia gunakan adalah meminjamkan dana tersebut kepada pihak ketiga secara ilegal, tanpa melalui prosedur yang sah. Akibat perbuatannya, dana umat sebesar Rp719 miliar raib dan digunakan untuk kepentingan yang tidak semestinya.
Atas kejahatannya, Said Agil divonis hukuman 5 tahun penjara. Kasus ini menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di lingkungan kementerian pada masanya, membuka mata publik akan adanya celah besar dalam pengelolaan dana haji.
2. Dosa Suryadharma Ali: Main Anggaran & Kuota Haji
Hampir satu dekade kemudian, skandal serupa dengan skala yang jauh lebih besar kembali terjadi. Kali ini, Menteri Agama Suryadharma Ali menjadi aktor utamanya dalam kasus korupsi penyelenggaraan haji periode 2010-2013.
Modusnya lebih beragam dan terstruktur. Ia terbukti terlibat dalam penggelembungan harga (mark-up) untuk berbagai fasilitas jemaah haji, mulai dari katering, pemondokan, hingga biaya transportasi di Arab Saudi, yang merugikan negara hingga Rp1,8 triliun.
Praktik yang paling menciderai rasa keadilan publik adalah penyelewengan sisa kuota haji. Kuota yang seharusnya dikembalikan ke antrean justru dialihkan secara tidak sah kepada orang-orang terdekatnya, termasuk keluarga dan kolega pejabat.
3. Vonis Berat dan Pelajaran Pahit
Akibat perbuatannya yang kompleks, Suryadharma Ali diganjar dengan vonis yang lebih berat, yaitu 10 tahun penjara. Kasus ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengkhianati kepercayaan jutaan calon jemaah haji.
Dua skandal besar yang menjerat dua menteri ini menjadi pelajaran pahit bagi Indonesia. Ini adalah pengingat betapa krusialnya sistem pengawasan yang ketat, independen, dan transparan dalam mengelola dana umat yang jumlahnya sangat besar.
Tanpa pengawasan yang kuat, dana suci yang dititipkan oleh masyarakat akan selalu rentan menjadi bancakan para pejabat korup. Perlindungan terhadap hak-hak jemaah harus menjadi prioritas utama yang tidak bisa ditawar-tawar.
4. Harapan Baru dan Alasan di Balik Kementerian Haji
Lahirnya Kementerian Haji dan Umrah kini menjadi harapan baru. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, membenarkan bahwa peningkatan status dari badan menjadi kementerian adalah sebuah kebutuhan, bukan sekadar memperbesar kabinet.
Menurutnya, lembaga setingkat menteri sangat diperlukan untuk mempermudah koordinasi dengan pihak Kerajaan Arab Saudi. Hal ini menjadi krusial setelah evaluasi penyelenggaraan haji tahun-tahun sebelumnya menunjukkan adanya kebutuhan tersebut.
"Ini kan bukan masalah makin besar (Kabinet) tapi masalah kebutuhan... nampaknya dibutuhkan untuk setingkat menteri, karena koordinasi dengan pihak Arab Saudi," kata Prasetyo. Terlebih lagi, jemaah umrah Indonesia kini mencapai hampir 2 juta orang setiap tahunnya.

Alvin Bagaskara
Editor
