Tren Leisure

Apa yang Terjadi pada Otak Saat Depresi, Stres, dan Ingin Bunuh Diri?

  • Bila anda mengalami kondisi berat, anda tidak sendirian. Rasa sakit itu nyata, tetapi begitu juga harapan dan kesempatan untuk sembuh.
Depresi
Depresi (https://unsplash.com/photos/IqSaG9zv2e0)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Depresi, stres berat, dan munculnya pikiran untuk bunuh diri bukan sekadar masalah psikologis. Di balik perasaan itu, terdapat perubahan biologis dan kimiawi yang nyata di dalam otak manusia. Para ilmuwan menyebut, kondisi tersebut dapat mengubah cara otak bekerja, berkomunikasi, hingga merespons emosi dan stres.

Depresi bukan sekadar perasaan sedih, kondisi ini adalah gangguan medis serius yang melibatkan ketidakseimbangan kimia otak. Tiga neurotransmitter utama yang terganggu adalah serotonin, norepinefrin, dan dopamin. 

Kekurangan serotonin menyebabkan gangguan suasana hati, norepinefrin rendah membuat tubuh lesu dan sulit fokus, sedangkan dopamin rendah menimbulkan kehilangan motivasi dan ketidakmampuan merasakan kebahagiaan.

Perubahan juga tampak secara struktural. Prefrontal cortex (PFC), bagian otak yang mengatur keputusan dan emosi, menjadi kurang aktif. Hippocampus yang berfungsi mengatur memori dan emosi bisa mengecil akibat paparan hormon stres (kortisol) yang tinggi. Sementara amygdala, pusat ketakutan dan kecemasan, justru menjadi lebih aktif, membuat seseorang terus merasa gelisah dan cemas.

Penelitian terbaru juga menemukan adanya peradangan di otak (neuroinflamasi) yang dapat mengganggu produksi neurotransmitter dan memperburuk gejala depresi.

Baca juga : LinkUMKM BRI Tembus 13,6 Juta Pengguna, Dorong UMKM Naik Kelas Lewat Pelatihan Digital

Saat Stres Menjadi Berat dan Kronis

Stres sebenarnya adalah mekanisme alami tubuh untuk bertahan. Namun, jika terjadi terus-menerus, stres justru bisa merusak otak. Ketika stres, sistem Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) axis diaktifkan dan menghasilkan hormon kortisol.

Jika kadar kortisol tinggi dalam waktu lama, dampaknya serius, hippocampus dapat mengecil, PFC melemah, dan amygdala menjadi hiperaktif. Inilah sebabnya orang yang mengalami stres berat sering sulit berpikir jernih, mudah panik, dan merasa kewalahan menghadapi hidup.

Pikiran untuk mengakhiri hidup biasanya muncul ketika rasa sakit psikologis sudah sangat berat. Dalam kondisi ini, otak menunjukkan pola yang berbeda dari depresi biasa.

Prefrontal cortex (PFC) bagian ventromedial (vmPFC) dan dorsolateral (dlPFC) mengalami gangguan fungsi. Akibatnya, seseorang kesulitan menilai risiko dan cenderung berpikir impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensi. 

Gangguan juga terjadi pada sistem penghargaan (reward system) yang melibatkan dopamin. Ketika sistem ini melemah, semua hal terasa hambar dan tak lagi memberikan rasa senang.

Selain itu, kombinasi amygdala hiperaktif dan PFC yang lemah menciptakan situasi berbahaya. Otak kehilangan kemampuan mengendalikan dorongan emosional, sehingga seseorang bisa bertindak ekstrem dalam waktu singkat.

Baca juga : Mengembangkan Dorongan Bertahan Hidup? AI Menolak Permintaan Mematikan Diri

Otak Bisa Pulih

Kabar baiknya, perubahan ini bisa dibalik. Otak manusia memiliki kemampuan luar biasa yang disebut neuroplastisitas, kemampuan untuk memperbaiki diri. 

Dengan pengobatan dan dukungan yang tepat seperti terapi psikologis (CBT), obat antidepresan, serta gaya hidup sehat (tidur cukup, olahraga, dan nutrisi seimbang), struktur dan fungsi otak bisa membaik.

Yang paling penting, depresi dan pikiran bunuh diri bukan kelemahan pribadi. Ini adalah kondisi medis yang memerlukan perawatan profesional. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalaminya, segera cari bantuan.

Bila anda mengalami kondisi berat, anda tidak sendirian. Rasa sakit itu nyata, tetapi begitu juga harapan dan kesempatan untuk sembuh.