POPS, Ketika Swasta Ikut Sediakan Ruang Publik Kota
- Swasta atau sektor privat dinilai perlu ambil bagian dalam menciptakan ruang publik baru di kota-kota di Indonesia. Hal itu menyusul terbatasnya lahan pemerintah yang dapat dikembangkan untuk ruang bersama. Butuh regulasi dan insentif yang jelas agar swasta tertarik “menyumbangkan” wilayahnya sebagai ruang publik.

Chrisna Chanis Cara
Author


SOLO, TRENASIA.ID—Pihak swasta atau sektor privat dinilai perlu ambil bagian dalam menciptakan ruang publik baru di kota-kota di Indonesia. Hal itu menyusul terbatasnya lahan pemerintah yang dapat dikembangkan untuk ruang bersama.
Butuh regulasi dan insentif yang jelas agar swasta tertarik “menyumbangkan” wilayahnya sebagai ruang publik. Informasi yang dihimpun TrenAsia, pembangunan di perkotaaan selama ini cenderung menafikan ruang publik untuk berinteraksi masyarakat.
Pada 2025, luas ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta hanya sekitar 35,99 km persegi atau setara 5,45% luas wilayah. Angka itu masih jauh dari target ideal sebesar 20% sesuai standar global.
Sebuah diskusi dalam event Indonesia Placemaking Summit 2025 di Hetero Space, Solo, belum lama ini menawarkan pendekatan privately owned public space (POPS) untuk mengatasi krisis ruang publik di perkotaan.
Sebagai informasi, POPS adalah ruang yang dimiliki dan dikelola pihak swasta/privat tapi dapat diakses masyarakat umum. Hal tersebut biasanya diikuti kesepakatan antara pemerintah dan pemilik ruang untuk menyusun regulasi serta memastikan kawasan itu dapat diakses secara gratis.
Alternatif Ruang Publik
Rikobimo Ridjal Badri, arsitek yang menjadi pembicara diskusi, mengatakan POPS dapat menjadi alternatif penyediaan ruang publik yang aksesibel. Dia mengatakan konsep ini banyak diadopsi di kota-kota di Amerika Serikat. Menurutnya, selama ini POPS belum berkembang di Indonesia lantaran ketiadaan regulasi pendukung.
“Mungkin ada banyak ruang publik di perkotaan, seperti yang dikembangkan M-Bloc dan lain sebagainya. Namun tempat itu belum bisa disebut POPS karena tidak ada regulasi pemerintah yang mengatur operasional serta insentif yang didapatkan pihak swasta,” ujar arsitek yang expert di urban design tersebut.

Rikobimo mengatakan pengelola POPS perlu memastikan warga dapat mengakses fasilitas secara gratis dan mudah layaknya ruang publik. Di sisi lain, pemerintah dapat memberikan insentif fiskal hingga tata ruang bagi pihak swasta yang mengembangkan POPS. “Modelnya bisa melalui pengurangan pajak, percepatan izin, public recognition dan lain sebagainya,” ujarnya.
Lebih jauh, dia mengungkap DKI Jakarta kini tengah menjajaki pengembangan POPS lewat penyesuaian sejumlah regulasi. Hal itu di antaranya melalui peraturan gubernur maupun revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW).
“Kami sedang mengadvokasi hal ini. Harapannya, POPS nanti bisa terhubung dengan TOD (Transid-Oriented Development), ujar Rikobimo yang juga pegiat Masyarakat Transportasi Indonesia.
Baca Juga: Kerugian Fasum Rusak di Jakarta Setara Bikin 50 Taman Kota
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Lintang Suminar, mengatakan POPS dapat menjadi alternatif ideal di tengah terbatasnya lahan serta peningkatan kepadatan warga kota. “Saat ini, public space tidak bisa semata-mata diciptakan pemerintah. Swasta perlu diberi ruang untuk terlibat,” ujarnya.
Lintang mengatakan luas ruang publik tidak menjadi hal yang penting dalam POPS. Dia mencontohkan Paley Park di New York, salah satu pionir pengembangan POPS di dunia. “Paley Park itu taman kecil, tapi sangat dibutuhkan di tengah bangunan dan permukiman padat,” ujarnya.
Sementara itu, Malindo Andhi dari Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (Infraindo) menilai kehadiran POPS dapat meningkatkan nilai sebuah kawasan. Hal ini karena POPS bersifat mengundang orang untuk datang dan berkumpul. “Sifatnya attract people, jadi nilai tanah, bangunan dan fasilitas pendukungnya berpotensi naik,” ujarnya.

Chrisna Chanis Cara
Editor
