Tren Inspirasi

Jakarta Menuju 500 Tahun: Saatnya Ekonomi Kreatif Jadi Solusi Anak Muda

  • Menjelang usia 500 tahun, Jakarta menghadapi tantangan pengangguran pemuda dan kesenjangan skill. Bisakah ekonomi kreatif jadi jalan keluar bagi Gen Z dan milenial?
ChatGPT Image 19 Jun 2025, 19.28.13.png
Ilustrasi ekonomi kreatif di DKI Jakarta. (OpenAI)

JAKARTA - Jakarta secara resmi diperingati kelahirannya pada 22 Juni 1527, sehingga pada 2025 ini hampir menginjak usia 498 tahun. Dari kota pelabuhan sampai megapolitan, Jakarta telah menampung aliran penduduk dan dinamika ekonomi yang kompleks. 

Namun di tengah gemerlap pembangunan dan inovasi, persoalan sosial seperti pengangguran pemuda masih jadi PR besar. Seiring transisi menuju “500 Tahun Jakarta” atau “Jakarta 500”, penting untuk mengevaluasi seberapa jauh kota ini mampu menyediakan lapangan kerja yang inklusif, terutama bagi generasi muda.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kelompok usia 15–24 tahun di Indonesia, termasuk Jakarta, masih menyumbang pengangguran terbuka tertinggi. Pada Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) kelompok usia muda 15–24 mencapai 16,16%.

Sementara itu, survei Sakernas Agustus 2024 mencatat persentase pemuda yang masuk kategori NEET (Not in Employment, Education, and Training) mencapai 23,79%. Artinya, hampir 1 dari 4 pemuda tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak ikut pelatihan—sebuah situasi rentan yang mengancam pembangunan sumber daya manusia jangka panjang.

Di Jakarta sendiri, meski data spesifik proporsi NEET per provinsi jarang dirinci publik, tren nasional ini juga dirasakan di ibukota, mengingat mobilitas penduduk muda dan tekanan kompetisi lapangan kerja.

Faktor utama: mismatch keterampilan, persyaratan pengalaman, serta akses terbatas pada pelatihan yang relevan. Banyak lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi menghadapi kesulitan mencari pekerjaan sesuai minat atau keahlian, sehingga angka TPT dan NEET tetap tinggi.

Kondisi Pekerja Informal: Upah Rendah, Jam Kerja Panjang

Sebagian anak muda yang bekerja terjebak di sektor informal dengan upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) dan beban jam kerja berat. Menurut data BPS Jakarta, sekitar 38,26% pekerja di Jakarta bersandar pada sektor informal (sejalan dengan data yang disebut sekitar 40%-an).

Di sektor informal seperti ojek online, UMKM kecil, pekerja sering menerima pendapatan di bawah UMP dan harus bekerja sangat panjang. Misalnya, supir ojol rata-rata menarik penumpang hingga 54 jam seminggu.

Di sisi lain, ada peluang di sektor ekonomi kreatif untuk menyerap angkatan muda pekerja. Data BPS 2023 menunjukkan 18,7% pekerja ekraf adalah Gen Z, dan 38,5% adalah Milenial. 

Dari 17 subsektor (game development, arsitektur, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fesyen, kuliner, film, fotografi, desain komunikasi visual, televisi & radio, kriya, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, aplikasi), banyak bidang yang dekat dengan minat dan keterampilan digital Gen Z dan Milenial.

Inspirasi dari Pelaku Kreatif Muda Jakarta

  • Startup Game Lokal: Tim indie di Jakarta berhasil meluncurkan game yang menarik perhatian di platform global. Mereka memanfaatkan program inkubasi kampus dan mentorship dari mentor industri, lalu crowdfunding untuk modal awal.
  • Konten Kreator dan Influencer Sosial: Banyak Gen Z yang mengembangkan konten edukasi teknologi, seni, atau budaya lokal di YouTube/Instagram/TikTok. Dengan monetisasi yang tepat dan kolaborasi brand, mereka memperoleh penghasilan memadai.
  • UMKM Digital: Misalnya pengrajin kriya yang memasarkan produk lewat e-commerce, memanfaatkan storytelling digital tentang asal-usul budaya. Kolaborasi dengan desainer muda membuat produk lebih menarik pasar global.
  • Startup Sosial Berbasis Kreatif: Platform yang menghubungkan seniman lokal dengan acara komunitas atau festival, sehingga mereka punya pasar bawaan.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah ruang kreatif di Jakarta sudah cukup memfasilitasi untuk menunjang pengembangan ekonomi kreatif secara masif? Meski banyak inisiatif, terdapat tantangan struktural seperti akses inkubasi dan modal bagi pelaku muda yang belum punya jaringan.

Anak muda sendiri butuh infrastruktur ruang kerja atau coworking yang terjangkau, pelatihan keterampilan mutakhir yang relevan dengan kebutuhan industri kreatif, serta kebijakan lokal yang mendukung, termasuk kemudahan perizinan usaha kreatif dan proteksi hak kekayaan intelektual (HKI).

Baca Juga: Muda, Kreatif, dan Inspiratif: Kisah Para Content Creator Cilik yang Sukses sejak Usia Dini

Ruang Kreatif di Jakarta: Infrastruktur dan Dukungan

1. Coworking Space dan Inkubasi Bisnis Kreatif

Jakarta kini dipenuhi coworking space dan pusat inkubasi, terutama di kawasan seperti Kemang, Kuningan, atau daerah pinggiran yang mulai berkembang. Banyak organisasi, universitas, dan swasta menawarkan program mentoring, workshop, dan jaringan. Namun:

  • Biaya sewa ruang dan program sering masih tinggi bagi sebagian pemula.
  • Distribusi fasilitas masih terkonsentrasi di pusat kota; kawasan pinggiran butuh akses serupa agar inklusivitas merata.

2. Program Pemerintah dan Swasta

Pemerintah provinsi dan pusat melalui Kemenparekraf/KemenKreatif rutin membuka program pendanaan, kompetisi ide, pelatihan digital, serta pameran kreatif. Di tingkat Jakarta, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI juga menyelenggarakan:

  • Pelatihan kewirausahaan digital.
  • Even bazar UMKM kreatif.
  • Kolaborasi bersama platform e-commerce atau fintech untuk memudahkan pembayaran digital dan akses modal mikro.
    Namun:
  • Sosialisasi program masih perlu diperluas, terutama ke lapisan komunitas lokal dan daerah pinggiran.
  • Kemitraan dengan komunitas kampus dan organisasi pemuda perlu ditingkatkan agar informasi sampai ke Gen Z dan Milenial di berbagai latar.

3. Akses Pembiayaan dan Proteksi HKI

Akses modal mikro, grant, atau venture capital bagi startup kreatif menjadi kunci. Beberapa platform fintech kini menawarkan pinjaman modal usaha tanpa agunan, syarat mudah. Namun literasi keuangan digital perlu ditingkatkan agar pelaku kreatif tidak terjebak utang tak sehat.
Penting juga memberikan edukasi tentang pendaftaran hak cipta, merek dagang, dan lisensi agar karya kreatif terlindungi dan bisa dikelola sebagai aset.

Hambatan yang Jadi Tantangan

Walaupun potensi besar, beberapa hambatan masih mengganggu seperti kesenjangan keterampilan (Skill Gap). Banyak pemuda menguasai dasar digital (media sosial), tapi kurang pelatihan teknis lanjutan: pemrograman game, produksi audio/video profesional, manajemen proyek kreatif, atau penggunaan software khusus.

Selain itu, masih ada keterbatasan akses informasi. Informasi tentang beasiswa pelatihan, grant, atau kompetisi sering tersebar di saluran resmi namun belum menyentuh komunitas pinggiran atau kelompok dengan latar ekonomi terbatas.

Persaingan global dan kesiapan infrastruktur digital dan fisik juga jadi tantangan. Meski penetrasi internet tinggi, konektivitas di beberapa daerah pinggiran DKI masih perlu peningkatan. Fasilitas studio, workshop, atau ruang kreatif fisik kadang minim.

Perizinan dan regulasi juga perlu menjadi perhatian. Beberapa usaha kreatif perlu izin usaha khusus (misalnya produksi makanan kreatif, produksi musik), yang prosesnya masih dirasa berbelit bagi pemula. Regulasi yang pro-kreatif dan one-stop service perlu dikembangkan.