Tren Global

Tambang dan Perkebunan di TN Tanjung Puting Ancam Orangutan

  • Penebangan hutan untuk sawit dan pertambangan ilegal membuat habitat orangutan terfragmentasi. Fragmentasi ini mengurangi peluang bertahan hidup dan reproduksi satwa liar.
stuart-jansen-BIOvLzi9bMM-unsplash.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Taman Nasional Tanjung Puting (TN Tanjung Puting) adalah kawasan konservasi di Kalimantan Tengah, Pulau Kalimantan, yang terkenal secara global sebagai salah satu pusat perlindungan dan rehabilitasi orangutan. 

Hutan di TN Tanjung Puting mencakup berbagai ekosistem, mulai dari hutan tropis dataran rendah, hutan rawa air tawar, hingga hutan tanah kering.

Selain orangutan, taman ini menjadi rumah bagi banyak spesies satwa lain, termasuk bekantan, owa Kalimantan, beruang madu, serta flora langka seperti meranti, ramin, kantong semar, dan gaharu. 

Sejak 1971, kawasan ini juga menjadi basis program rehabilitasi orangutan melalui pusat seperti Camp Leakey, sekaligus menjadi lokasi penelitian, pelestarian habitat, dan ekowisata. 

Namun, keberadaan Taman Nasional ini dan seluruh ekosistem di dalamnya menghadapi tekanan berat dari ekspansi perkebunan sawit, pertambangan legal maupun ilegal, hingga konversi lahan yang mengancam kelangsungan hidup orangutan dan keanekaragaman hayati lain.

Baca juga : Gelar RUPSLB, OCBC Setujui Perubahan Anggaran Dasar dan Pergantian Komisaris

Ancaman dari Tambang dan Perkebunan

Dikutip laman tanjungputingnp.org, Rabu, 3 Desember 2025, sejumlah perusahaan besar dianggap bertanggung jawab atas kerusakan habitat orangutan di Kalimantan. PT Kaltim Prima Coal (KPC), anak perusahaan batubara besar di Kalimantan Timur, memiliki konsesi seluas 61.543 hektar di Sangatta dan Bengalon yang berbatasan langsung dengan wilayah habitat orangutan. 

Penelitian menunjukkan habitat orangutan di sekitar area pertambangan telah mengalami kerusakan, memaksa mereka berkeliaran di area tambang untuk mencari makanan dan tempat tinggal. 

KPC mengklaim memiliki kawasan reklamasi dan konservasi dengan area hutan yang diolah kembali untuk mendukung kehidupan satwa, termasuk penanaman pohon pakan dan pembuatan sarang. Namun, banyak konservasionis dan masyarakat menilai langkah ini tidak cukup karena habitat alami telah terganggu dan fragmentasi hutan tetap terjadi. 

Di sektor perkebunan sawit, First Borneo Group melalui anak perusahaan seperti PT Equator Sumber Rezeki, PT Borneo International Anugerah, dan PT Khatulistiwa Agro Abadi dilaporkan melakukan pembabatan puluhan hingga ribuan hektar hutan di Kalimantan Barat. 

Baca juga : Verifikasi Dana Diperketat, Aturan Baru OJK Kunci RDN Calon Investor IPO Ritel

Sebagian besar lahan yang dibuka merupakan habitat kritis bagi orangutan, termasuk area yang menjadi jalur migrasi satwa serta sumber pakan utama mereka. 

Aktivitas deforestasi masif ini tidak hanya menghancurkan pohon-pohon pakan dan tempat berteduh orangutan, tetapi juga memecah kontinuitas hutan, membuat satwa terisolasi di patch hutan yang lebih kecil, sehingga mengurangi peluang mereka untuk bertahan hidup dan berkembang biak secara alami. 

Dampak ekologis dari pembabatan ini juga meluas ke spesies lain, termasuk burung, primata, dan hewan tanah yang bergantung pada ekosistem hutan yang utuh.

Selain tekanan dari perusahaan besar, kawasan TN Tanjung Puting juga menghadapi ancaman dari aktivitas pertambangan ilegal. Bulan November 2025 yang lalu, aparat penegak hukum berhasil mengamankan 12 pelaku penambangan tanpa izin (PETI) di sekitar atau bahkan di dalam area taman nasional.

Penambangan ilegal ini tidak hanya merusak tanah, sungai, dan vegetasi, tetapi juga menimbulkan konflik langsung dengan satwa liar. Dalam beberapa kasus, tercatat kematian satwa, termasuk orangutan, akibat kontak dengan aktivitas pertambangan, misalnya karena terperangkap, kelaparan akibat hilangnya habitat, atau cedera fisik dari alat berat dan bahan kimia yang digunakan dalam operasi ilegal. 

Kondisi ini menegaskan bahwa tekanan terhadap ekosistem hutan tidak hanya datang dari operasi industri legal, tetapi juga dari praktik ilegal yang sulit dikontrol, memperburuk kerentanan habitat orangutan, dan mengancam kelestarian jangka panjang spesies endemik tersebut.

Akumulasi konversi lahan, deforestasi, dan fragmentasi menyebabkan habitat orangutan dan satwa lain menyusut signifikan. Wilayah hutan yang sebelumnya saling terhubung kini terpecah-pecah, membuat populasi satwa terisolasi, kesulitan mencari makanan, dan rentan terhadap konflik manusia–satwa liar. 

Kehilangan habitat juga mengancam fungsi ekologis hutan, termasuk keanekaragaman flora dan fauna, penyimpanan karbon, serta ekosistem rawa dan tanah gambut. 

Degradasi habitat secara langsung memengaruhi upaya rehabilitasi dan pelepasan satwa liar. Kawasan konservasi buatan perusahaan, meskipun ada, umumnya lebih kecil, terfragmentasi, dan belum bisa meniru kompleksitas habitat alami. Hal ini membatasi peluang pemulihan populasi jangka panjang.