Perang Thailand–Kamboja Pecah Lagi, Berikut Kronologi, Dampak, dan Akar Konflik
- Ketegangan Thailand–Kamboja memanas pada tanggal 8–10 Desember 2025 hari ini, kedua negara saling jual-beli serangan udara dan artileri. Simak eskalasi terburuk sejak Juli dan dampaknya.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Ketegangan di perbatasan Thailand–Kamboja kembali meningkat tajam pada 8-10 Desember 2025. Bentrokan yang awalnya hanya dilaporkan terjadi di beberapa titik berubah menjadi pertempuran terbuka yang melibatkan serangan udara, artileri berat, dan pengungsian besar-besaran di kedua sisi perbatasan.
Situasi ini dinilai sebagai eskalasi terburuk sejak bentrokan lima hari pada Juli lalu yang menewaskan 48 orang. Bentrokan memasuki hari ketiga pada Rabu, 10 Desember 2025.
Ketegangan meruncing setelah Thailand melancarkan serangan udara ke posisi militer Kamboja di sekitar Ubon Ratchathani pada Senin, 8 Desember, yang disebut Bangkok sebagai balasan atas tembakan dari pihak Kamboja yang dianggap mengancam wilayah mereka.
Di sisi lain, mantan Presiden AS Donald Trump setelah mengklaim pihaknya akan menghentikan perang dua negara tetangga tersebut.
“Besok saya harus melakukan sebuah panggilan dan menghentikan perang antara dua negara yang sangat kuat, Thailand dan Kamboja. Siapa lagi yang bisa berkata bahwa saya akan melakukan sebuah panggilan dan menghentikan perang” ujar Trump kepada awak media dikutip Reuters, Rabu, 10 Desember 2025.
Baca juga : Sejumlah Katalis Ini Bikin Saham BUMI Meledak 200 Persen dalam 3 Bulan
Dampak Kemanusiaan
Upaya mediasi internasional menghadapi jalan buntu sejak awal. Menteri Luar Negeri Thailand, Sihasak Phuangketkeow, menegaskan bahwa situasi saat ini tidak kondusif untuk mediasi pihak ketiga.
Sebaliknya, penasihat Perdana Menteri Hun Manet menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk berdialog kapan saja dan menegaskan mereka “siap berunding kapan saja.”
Serangan dan saling balas tembakan memicu pengungsian besar-besaran. Thailand mengevakuasi 438.000 warga dari lima provinsi perbatasan, sementara Kamboja melaporkan sembilan warga sipil tewas dan 20 orang luka parah sejak Senin.
Enam warga sipil Kamboja tewas dalam serangan awal Thailand, seorang tentara Thailand tewas, dan lebih dari 20 orang terluka. Sejumlah infrastruktur sipil seperti sekolah, rumah sakit kecil, serta stasiun bahan bakar turut mengalami kerusakan akibat artileri.
Kamboja menuduh Thailand menggunakan kekuatan berlebihan dan menyebut operasi udara Bangkok sebagai tindakan “kejam dan tidak manusiawi,” sementara Thailand menuding Kamboja menembakkan roket BM-21 ke area pemukiman.
Akar Ketegangan
Ketegangan terbaru dipicu insiden Oktober lalu ketika seorang tentara Thailand kehilangan anggota tubuh setelah menginjak ranjau yang disebut Bangkok sebagai ranjau baru yang “ditanam oleh Kamboja.”
Tuduhan tersebut langsung dibantah keras oleh Phnom Penh. Secara historis, konflik perbatasan kedua negara berakar pada perbedaan penafsiran atas peta distrik Prancis tahun 1907.
Wilayah sekitar Kuil Preah Vihear, yang menurut putusan Mahkamah Internasional tahun 1962 berada di wilayah Kamboja, tetap menjadi titik sengketa paling sensitif.
Ketegangan semakin meningkat setelah seorang jenderal senior Thailand menyatakan secara terbuka bahwa tujuan serangan mereka untuk melumpuhkan kemampuan militer Kamboja untuk waktu yang lama ke depan.
Baca juga : Harga Komoditas Jakarta: Cabe Rawit Merah Naik Tertinggi, Daging Sapi Turun Tajam
Pernyataan yang sangat agresif ini semakin memicu kekhawatiran bahwa konflik dapat berkembang menjadi perang terbuka apabila tidak segera diredam.
Sejumlah pihak internasional mulai memberikan tekanan. Donald Trump meminta kedua negara menghormati gencatan senjata yang tercapai Juli lalu.
ASEAN yang kini diketuai Malaysia menyerukan ketenangan dan komunikasi terbuka. Sekjen PBB António Guterres meminta kedua negara menahan diri dan menegaskan bahwa PBB siap mendukung upaya perdamaian.
Sementara itu, KBRI Phnom Penh mengimbau warga Indonesia di Poipet untuk pindah sementara ke wilayah yang lebih aman meski kota tersebut tidak berada tepat di zona konflik.
Pada Juli 2025, Trump memediasi gencatan senjata yang mengakhiri bentrokan selama lima hari menggunakan tekanan diplomatik dan ancaman tarif perdagangan. Namun pada Desember ini, Menteri Luar Negeri Thailand menolak pendekatan serupa.

Muhammad Imam Hatami
Editor
