Tren Global

Dari Solo, Warga Sipil Serukan 9 Tuntutan untuk Benahi Iklim Demokrasi

  • Puluhan organisasi masyarakat sipil di Soloraya menuntut pembebasan aktivis pro-demokrasi dan penghentian kriminalisasi. Sembilan poin tuntutan disampaikan merespons gelombang penangkapan.
294b29ae-8f1b-4669-9b29-4a2434220531.jpg
Puluhan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya menggelar pertemuan di Rumah Banjarsari, Solo, pada Rabu, 1 Oktober 2025. Pertemuan ini merespons gelombang penangkapan terhadap para aktivis yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. (Chrisna Chanis Cara/TrenAsia)

SOLO, TRENASIA.ID—Puluhan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya menggelar pertemuan di Rumah Banjarsari, Solo, pada Rabu, 1 Oktober 2025. Pertemuan ini merespons gelombang penangkapan terhadap para aktivis yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

Diketahui, belakangan ini ada penangkapan ratusan aktivis pendukung demokrasi, pegiat gerakan reformasi, dan warga yang mengkritisi kebijakan pemerintah. Sejumlah korban ditangkap, ditahan, dikriminalisasi, bahkan mengalami tindak kekerasan fisik.

Jaringan menilai tindakan represif tersebut tidak sekadar melanggar aturan hukum dan hak asasi manusia, melainkan juga membahayakan kelangsungan demokrasi Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta, salah satu OMS yang tergabung dalam jaringan, menyebut kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi justru mengalami penyempitan. 

“Salah satunya lewat praktik represif yang menyasar mereka yang vokal menyuarakan pendapat. Hal ini menjadi keprihatinan kami. Untuk itu, warga sipil perlu tegas menghadapi kondisi darurat demokrasi ini,” ujar Ketua AJI Surakarta, Mariyana Ricky. 

Pola Pelanggaran yang Teridentifikasi

Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya mencatat berbagai pelanggaran prosedur dalam penangkapan aktivis, pegiat reformasi, dan warga. Penangkapan dilakukan tanpa surat perintah resmi, seringkali pada waktu malam oleh petugas yang tidak mengenakan seragam.

Selain itu ada penggeledahan dan penyitaan properti pribadi, termasuk buku serta karya intelektual, dilaksanakan tanpa landasan hukum yang kuat. Interogasi berlangsung intensif hingga dini hari tanpa menghormati hak tersangka untuk beristirahat, bahkan disertai tindakan intimidasi, menjadi pola lain aparat.

Jaringan juga mencatat keluarga dan kuasa hukum kerap kesulitan mendapatkan informasi memadai tentang status penahanan. Ada pula upaya memaksa pencabutan kuasa, campur tangan terhadap advokat, dan ancaman kepada pendamping hukum.

Bahkan ditemukan kasus kekerasan, penyiksaan, hingga korban dalam kondisi koma dan sejumlah individu yang hilang tanpa informasi jelas. Lebih lanjut, aktivis dan warga cenderung dicap sebagai 'anarkis' atau 'pelaku kekerasan' tanpa pembuktian yang valid.

“Data pribadi korban disebarluaskan untuk membangun persepsi negatif di masyarakat. Materi bacaan dan karya intelektual diinterpretasikan keliru sebagai alat bukti kejahatan, padahal merupakan bagian dari kebebasan berekspresi,” imbuh Nana, sapaan akrab Mariyana.

Advokat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya, Badrus Zaman, menagih komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk melindungi iklim demokrasi, salah satunya dengan tidak mengkriminalisasi para aktivis. 

“Kemarin Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Yusril Ihza Mahendra) bilang mau membantu, mengawal. Konkretnya seperti apa? Banyak yang sudah menjadi korban.”

Sembilan Tuntutan Bersama 

Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya yang beranggotakan puluhan organisasi, di antaranya Spek-HAM, Yayasan Kakak, YAPHI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta, SARI, Gusdurian Solo, Badrus Zaman Law Office, Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Solo, LPM Pabelan, BEM UMS, BEM UNSA, BEM Unisri, Serikat Pekerja Kampus, elemen 98 dan warga sipil mengajukan sembilan tuntutan bersama:

Pertama, membebaskan semua aktivis, pegiat reformasi, dan warga yang ditahan karena menyampaikan kritik serta mencabut semua status tersangka yang dijatuhkan secara sewenang-wenang tanpa terkecuali.

Kedua, menghentikan praktik perburuan, kriminalisasi, dan intimidasi terhadap siapa pun yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat.

Ketiga, mengusut tuntas kasus kekerasan, penyiksaan, salah tangkap, dan penghilangan orang melalui pembentukan Tim Pencari Fakta Independen yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, serta lembaga HAM.

Keempat, memulihkan hak korban atas kasus kekerasan, penyiksaan, dan salah tangkap oleh aparat. Pemulihan harus dilakukan secara menyeluruh meliputi rehabilitasi medis dan psikologis, rehabilitasi sosial, restitusi dan kompensasi, pemulihan nama baik, serta jaminan ketidakberulangan.

Kelima, melaksanakan reformasi menyeluruh dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia agar penegakan hukum dijalankan secara adil, transparan, dan akuntabel, bukan menjadi instrumen politik untuk membungkam kritik.

Baca Juga: Mengapa Demonstrasi di Norwegia Sangat Jarang Ricuh?

Keenam, menegakkan mekanisme pengawasan internal dan eksternal (Propam, Irwasum, Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas) secara efektif untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan oleh aparat. Penegakan hukum boleh dilakukan, tetapi tidak boleh mengabaikan hak asasi manusia dan dilakukan serampangan.

Ketujuh, melindungi hak advokat dan pendamping hukum, termasuk menghentikan segala bentuk pemaksaan, intervensi, maupun kriminalisasi terhadap kuasa hukum.

Kedelapan, menjamin perlindungan data pribadi dan keamanan digital para aktivis, pegiat reformasi, jurnalis, dan warga kritis dari praktik pengawasan serta permintaan data yang melanggar hukum.

Kesembilan, menghormati dan menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul sebagai hak konstitusional warga negara yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 serta instrumen hak asasi manusia internasional.