Tren Global

Mengapa Demonstrasi di Norwegia Sangat Jarang Ricuh?

  • Perbandingan demonstrasi Norwegia vs Indonesia: peran polisi, budaya dialog, dan respons pemerintah menentukan damai atau ricuhnya aksi.
sandro-kradolfer-y34Zk_jxqe0-unsplash.jpg
Norwegia (unsplash)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Gelombang demonstrasi di Indonesia kerap berujung ricuh, bahkan menelan korban jiwa seperti insiden pengemudi ojek online saat aksi di DPR. Namun, pengalaman Norwegia menunjukkan demonstrasi bisa menjadi sarana konstruktif tanpa kekerasan.

Norwegia menganut sistem monarki konstitusional dengan demokrasi parlementer yang stabil. Konstitusi Norwegia secara tegas menjamin kebebasan berekspresi dan hak berdemonstrasi secara damai. 

Sistem hukumnya berlandaskan rule of law dengan perlindungan kuat terhadap hak sipil. Lingkungan ini memungkinkan aspirasi masyarakat disalurkan melalui jalur formal, bukan lewat kekerasan.

Polisi Norwegia berperan sebagai pengawas netral yang menjaga keamanan tanpa tindakan represif. Sebagai contoh, kasus pada tahun 2023 ketika ada rencana aksi bakar Al-Quran di depan Kedutaan Turki. 

Polisi melarang aksi tersebut demi keamanan, namun tetap mengakui bahwa tindakan itu merupakan “pernyataan politik yang sah”. Pendekatan seperti ini bagi Norwegia jadi cerminan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan ketertiban umum.

Baca juga : 50 Orang Kaya Setara 50 Juta Rakyat, Pajak Kekayaan Harus Segera Diterapkan

Budaya Dialog dan Respons Pemerintah

Dikutip laporan media Norwegia thelocal.no, dalam rilis berjudul "Election 2017: Who’s who in Norwegian politics?", Norwegia memiliki tradisi politik yang inklusif. Pemerintah dan partai politik terbuka terhadap dialog dengan masyarakat sehingga aspirasi jarang berujung pada konflik terbuka. 

Demonstrasi pun kerap menggunakan media kreatif seperti proyektor atau seni visual untuk menyampaikan pesan secara damai. Aspirasi masyarakat biasanya direspons melalui mekanisme parlemen, perundingan buruh, atau saluran institusional lainnya, sehingga protes tetap berada dalam koridor demokratis.

Kedamaian dalam demonstrasi di Norwegia juga didukung oleh dua faktor utama. Pertama, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi negara sangat tinggi. 

Kedua, kesejahteraan masyarakat relatif baik, sehingga isu-isu yang diangkat dalam demonstrasi lebih sering berkaitan dengan kebijakan spesifik, seperti lingkungan atau imigrasi, daripada ketidakadilan struktural yang ekstrem.

Baca juga : Daftar 10 Barang Mewah Ahmad Sahroni yang Dijarah Massa

Kondisi di Indonesia menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demonstrasi di Tanah Air sering kali berujung bentrok antara aparat dan massa. Peran polisi cenderung represif dan konfrontatif, berbeda dengan netralitas aparat di Norwegia. 

Respons pemerintah terhadap aspirasi publik kerap diabaikan, yang justru memicu gelombang protes lebih besar. Dari sisi metode, demonstrasi di Indonesia sering diwarnai aksi anarkis dan perusakan fasilitas, sedangkan di Norwegia protes lebih damai dan kreatif. 

Latar belakang isu juga berbeda, karena di Indonesia demonstrasi biasanya dipicu masalah struktural seperti kemiskinan, korupsi, dan ketidakadilan, sementara di Norwegia fokus pada isu kebijakan tertentu.

Dari pengalaman Norwegia, terlihat jelas bahwa sistem politik yang responsif, aparat keamanan yang netral, serta budaya dialog yang kuat dapat menekan eskalasi kekerasan dalam demonstrasi. 

Di Indonesia, reformasi kelembagaan demokrasi dan perubahan pendekatan aparat terhadap massa aksi menjadi kunci agar unjuk rasa tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian sehat dari kehidupan berdemokrasi.