AS Serang Sektor Energi Rusia, Begini Cara Kerja Sanksi dan Efek ke Moskow
- Pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi besar pada sektor energi Rusia, memicu lonjakan harga minyak global dan tekanan bagi China serta India.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi baru terhadap dua perusahaan minyak raksasa Rusia, Rosneft dan Lukoil. Pengumuman yang disampaikan pada 23–24 Oktober 2025 oleh pemerintahan Donald Trump ini langsung mengguncang pasar energi global.
Dalam hitungan jam, harga minyak dunia melonjak lebih dari lima persen, sementara negara-negara besar seperti China mulai meninjau ulang strategi impornya dari Rusia.
Langkah Washington ini menjadi babak baru dalam perang ekonomi global yang telah berlangsung sejak invasi Rusia ke Ukraina. Namun kali ini, sanksi tersebut bukan sekadar tekanan diplomatik, melainkan upaya nyata untuk mengguncang tulang punggung ekonomi Moskow, sektor energi.
Sanksi yang diumumkan Gedung Putih disebut sebagai eskalasi signifikan terhadap Rusia. Target utamanya adalah dua raksasa energi milik negara, Rosneft dan Lukoil, yang masing-masing memproduksi lebih dari lima juta barel minyak per hari.
Bersama-sama, keduanya menyumbang sekitar tujuh persen dari total pasokan minyak dunia, angka yang cukup besar untuk mengubah keseimbangan pasar global.
Secara mekanisme, sanksi ini dirancang untuk mengisolasi perusahaan Rusia dari sistem keuangan internasional, khususnya yang berbasis di Barat.
Bank atau perusahaan di negara lain yang tetap melakukan transaksi dengan Rosneft atau Lukoil kini menghadapi risiko terkena sanksi sekunder dari AS. Artinya, mereka bisa kehilangan akses ke sistem perbankan global yang menggunakan dolar AS, serta dilarang bertransaksi dengan entitas Amerika.
Pemerintah AS menegaskan, tujuan utama dari langkah ini adalah menekan Moskow agar menyetujui gencatan senjata di Ukraina. Namun di balik itu, ada pesan strategis yang ingin dikirim, Washington siap memperluas tekanan ekonomi hingga ke sektor paling vital sekalipun.
“Kami akan memastikan Rusia membayar harga penuh atas agresinya,” demikian pernyataan resmi Departemen Keuangan AS.
Reaksi pasar energi dunia tidak butuh waktu lama. Dalam 24 jam setelah pengumuman sanksi, harga minyak mentah melonjak lebih dari 5%. Minyak Brent naik ke US$65,99 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) menyentuh US$61,79 per barel, kenaikan harian terbesar sejak pertengahan Juni 2025.
Baca juga : Harga Sembako di Jakarta Hari Ini: Ayam Broiler/Ras Naik, Ikan Lele Turun
Kenaikan ini mencerminkan kekhawatiran investor bahwa pasokan global akan terganggu jika dua produsen besar seperti Rosneft dan Lukoil terhambat menjual minyak mereka. Pasar juga menilai langkah ini dapat memperketat suplai di Asia, kawasan yang selama dua tahun terakhir menjadi penopang utama ekspor minyak Rusia.
China, sebagai pembeli terbesar minyak Rusia, langsung merespons dengan hati-hati. Perusahaan-perusahaan minyak milik negara di Negeri Tirai Bambu dilaporkan menangguhkan pembelian minyak via laut dari Rosneft dan Lukoil.
Keputusan itu diambil untuk menghindari risiko terseret sanksi sekunder dari Washington. Situasi ini menempatkan Beijing dalam posisi sulit: di satu sisi, China masih bergantung pada pasokan energi murah Rusia; di sisi lain, risiko kehilangan akses ke sistem keuangan global terlalu besar untuk diabaikan.
Sementara itu, India, pembeli besar minyak Rusia lainnya dilaporkan masih menunggu klarifikasi dari Washington sebelum mengambil keputusan. Analis memperkirakan kedua negara Asia itu akan berupaya mencari pemasok alternatif seperti Arab Saudi atau Iran, meski hal ini bisa memicu lonjakan biaya dan kompleksitas rantai pasok.

Cara Kerja Sanksi
Kekuatan sanksi Amerika Serikat sesungguhnya tidak hanya terletak pada aspek hukum, tetapi juga pada dominasi Dolar AS dalam sistem keuangan global.
Dengan mengancam memutus akses ke jaringan pembayaran berbasis dolar, Washington memiliki pengaruh luar biasa terhadap keputusan bisnis dan perdagangan internasional.
Bank, perusahaan, bahkan negara yang tidak tunduk secara formal pada hukum AS sering kali tetap mematuhi aturan sanksi ini demi menghindari konsekuensi ekonomi yang berat. Inilah yang membuat sanksi Amerika begitu efektif, dan menimbulkan dilema bagi mitra dagang Rusia.
Namun, efektivitas sanksi juga memiliki batas. Rusia memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi tekanan ekonomi Barat. Sejak sanksi pertama dijatuhkan pada 2022, Moskow telah membangun “armada bayangan” yang terdiri dari kapal-kapal tanker tanpa identitas jelas dan sistem perdagangan minyak yang menghindari jalur finansial Barat. Dengan cara ini, Rusia bisa tetap mengekspor minyaknya, meski dengan biaya yang lebih tinggi dan risiko yang lebih besar.
Baca juga : Harga Emas Antam Kembali Melesat Jelang Akhir Pekan
Ke depan, banyak pengamat menilai keberhasilan sanksi baru ini akan sangat ditentukan oleh konsistensi penerapan dan respons dari negara-negara seperti China dan India.
Jika keduanya tetap menahan diri, ekspor minyak Rusia bisa benar-benar terpukul. Namun jika mereka menemukan celah, sanksi ini mungkin hanya menjadi hambatan sementara dalam arus besar perdagangan energi global.
Sanksi terbaru ini mempertegas bagaimana energi tetap menjadi senjata utama dalam konflik geopolitik modern. Langkah AS tak hanya bertujuan melemahkan ekonomi Rusia, tetapi juga menguji kesetiaan dan keberanian mitra-mitra dagangnya.
Di tengah ketegangan yang meningkat, dunia kini berhadapan dengan paradoks baru: bagaimana menekan Rusia tanpa mengguncang fondasi stabilitas energi global.
Lonjakan harga minyak yang terjadi segera setelah sanksi diumumkan menunjukkan bahwa setiap langkah politik kini dapat memicu efek domino terhadap pasar dunia. Dalam situasi yang rapuh seperti ini, bahkan satu keputusan diplomatik bisa mengubah arah ekonomi global.

Muhammad Imam Hatami
Editor
