Tren Global

AS Kembali Veto Gaza, Berikut Sejarah dan Kontroversi Hak Veto

  • Hak veto di PBB lahir pasca-Perang Dunia II, kini sering dipandang sebagai penghalang perdamaian dunia.
veto.jpeg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Dunia kembali menyoroti kinerja Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) setelah Amerika Serikat pada Kamis, 18 September 202kembali menggunakan hak vetonya. Kali ini, Washington memblokir rancangan resolusi yang menuntut gencatan senjata permanen dan tanpa syarat di Gaza serta pencabutan seluruh pembatasan bantuan kemanusiaan oleh Israel.

Langkah tersebut segera memicu gelombang kritik internasional. Bagi sebagian besar negara, hak veto yang dimiliki lima anggota tetap DK PBB, Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis, lebih sering menjadi penghalang perdamaian ketimbang alat penjaga stabilitas global.

Warisan Perang Dunia II

Dilansir dari laman Ensiklopedia Britanica, Jumat, 19 September 2025, Hak veto pertama kali diperkenalkan pada tahun 1945, saat PBB lahir dari puing-puing Perang Dunia II. Lima negara pemenang perang kala itu diberi status istimewa sebagai anggota tetap DK PBB dengan hak istimewa membatalkan resolusi substantif, bahkan jika seluruh anggota lain menyetujuinya.

Bagi para perancang PBB, mekanisme ini adalah jalan kompromi. Veto menjadi insentif agar kekuatan besar mau bergabung dalam tatanan internasional baru, sekaligus mencegah pecahnya perang besar berikutnya. Namun, dari waktu ke waktu, hak veto justru melahirkan ketidakpuasan dan dianggap memperlebar kesenjangan antarnegara anggota.

Secara teknis, veto hanya berlaku pada keputusan substantif, seperti penerimaan anggota baru, pemilihan Sekretaris Jenderal, atau pemberian sanksi internasional. Satu suara "tidak" dari anggota tetap cukup untuk menggugurkan resolusi, bahkan jika didukung oleh 14 anggota lainnya.

Sebaliknya, abstain tidak dianggap sebagai veto. Karena itu, dalam sejarah PBB, sering terjadi kompromi di mana anggota tetap memilih abstain demi menghindari kebuntuan total.

Sejarah panjang PBB menunjukkan, veto kerap dipakai untuk melindungi kepentingan nasional maupun sekutu strategis. Amerika Serikat, misalnya, berkali-kali menolak resolusi yang mengkritik Israel. Rusia, di sisi lain, hampir selalu menggagalkan resolusi terkait Suriah dan Ukraina.

Bagi negara-negara berkembang, situasi ini menimbulkan kekecewaan. Bagi mereka, hak veto bukan lagi simbol keseimbangan global, melainkan instrumen politik sepihak.

Kontroversi yang Tak Pernah Redup

Hak veto sering dikaitkan dengan lambannya respons PBB terhadap krisis kemanusiaan. Veto AS atas resolusi gencatan senjata di Gaza, misalnya, dianggap memperpanjang penderitaan rakyat sipil. Kritik serupa juga muncul ketika Rusia memblokir langkah internasional terhadap Suriah, atau ketika Tiongkok menolak resolusi tentang Myanmar.

Indonesia sejak era Presiden Sukarno pernah menyerukan penghapusan hak veto, menilai mekanisme itu tidak demokratis dan tidak sesuai dengan realitas geopolitik modern. Namun, hingga kini, reformasi PBB masih sebatas wacana.

Beberapa negara pernah mencoba mendorong reformasi. Prancis dan Meksiko, misalnya, pada 2014 mengusulkan agar veto tidak digunakan dalam kasus genosida atau kejahatan kemanusiaan berat. Ada pula wacana memperluas kursi anggota tetap dengan memasukkan negara-negara seperti India, Jepang, Jerman, atau Brasil.

Namun, semua upaya itu mentok pada satu fakta, perubahan Piagam PBB hanya bisa dilakukan dengan persetujuan semua anggota tetap. Ironisnya, negara-negara yang paling diuntungkan justru tidak punya insentif untuk mengubah status quo.

Hingga 2023, tercatat Rusia (dan sebelumnya Uni Soviet) adalah pengguna veto paling aktif dengan total 124 kali, disusul Amerika Serikat 84 kali, Inggris 29 kali, China 18 kali, dan Prancis 16 kali. Angka ini menggambarkan bagaimana kepentingan geopolitik masing-masing negara membentuk wajah PBB hingga hari ini.

Hak veto merupakan paradoks, Ia dimaksudkan untuk menjaga stabilitas dunia pasca-Perang Dunia II, namun dalam praktiknya justru sering dianggap menghambat perdamaian. Bagi sebagian negara, veto adalah simbol ketidaksetaraan global. Bagi negara pemegangnya, veto adalah senjata diplomasi yang tak ternilai.

Ketika dunia berubah dengan cepat, hak veto tetap menjadi warisan masa lalu yang paling sulit digoyahkan. Dan setiap kali veto kembali dijatuhkan, seperti pekan ini terkait Gaza, perdebatan lama tentang relevansi dan keadilannya pun menyeruak kembali.