Tren Global

100 Ribu Orang Bisa Kena PHK: Kenapa Kita Harus Peduli Perang Iran-Israel

  • Konflik Iran-Israel bisa sebabkan 100 ribu PHK di Indonesia. Sektor industri, logistik, dan fiskal tertekan, pemerintah siapkan strategi antisipatif.
Suasana aktivitas di salah satu pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil yang diputus pailit karena kesulitan keuangan.
Suasana aktivitas di salah satu pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil yang diputus pailit karena kesulitan keuangan. (Dokumentasi Internal Sritex)

JAKARTA – Konflik bersenjata antara Iran dan Israel mulai menyebar dampaknya ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Krisis geopolitik ini menimbulkan efek domino yang mengancam sektor industri dan kestabilan makroekonomi nasional. Jika tidak diantisipasi secara serius, potensi perlambatan ekonomi Indonesia kian nyata.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, memperkirakan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa menyentuh angka 100.000 orang jika konflik terus berlanjut hingga akhir tahun.

"Saya yakin, seyakin-yakinnya bisa mencapai 100 ribu orang pada akhir tahun, kalau perang ini tidak segera berhenti," ujar Mirah kepada awak media, dikutip Selasa, 24 Juni 2025.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hingga awal Juni 2025, sudah terjadi 30.000 kasus PHK. Mayoritas terjadi di sektor manufaktur, terutama industri padat karya seperti otomotif, tekstil, dan alas kaki.

Sebagai upaya mitigasi, pemerintah mendorong sejumlah program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), pelatihan ulang keterampilan (reskilling), dan penguatan koordinasi penempatan kerja melalui pemerintah daerah.

Industri Tertekan: Dari Tekstil hingga Teknologi

Sektor tekstil dan alas kaki menjadi salah satu yang paling terpukul. Tekanan terhadap ekspor sudah dirasakan sejak pecahnya perang Rusia-Ukraina, dan kini diperparah oleh konflik baru di Timur Tengah.

Sepanjang 2024, pertumbuhan ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat hanya mencapai 0,09%, sementara alas kaki sebesar 6,83%. Dampaknya nyata: antara Januari hingga Mei 2024, tercatat 20 hingga 30 pabrik tekstil dan alas kaki tutup, menyebabkan lebih dari 10.800 pekerja kehilangan pekerjaan.

"Yang Ukraina-Rusia saja pengaruhnya besar, apalagi ini Iran-Israel. Dampaknya ke industri tekstil dan alas kaki pasti jauh lebih berat," tambah Mirah.

Krisis juga menjalar ke sektor logistik dan teknologi. Penutupan wilayah udara di kawasan Timur Tengah memaksa sejumlah maskapai besar seperti Air India dan Qatar Airways membatalkan penerbangan. Akibatnya, biaya pengiriman internasional melonjak antara 150% hingga 200%, karena kapal harus memutar rute pengiriman.

Sementara itu, harga minyak dunia terus merangkak naik dan kini telah menembus level US$83 per barel, diperburuk oleh ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran — jalur penting bagi sekitar 30% distribusi minyak global.

Perdagangan global pun melambat, menambah beban bagi sektor ekspor Indonesia. Kondisi ini dinilai berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.

Ketegangan kian memuncak setelah Amerika Serikat menyerang tiga fasilitas nuklir Iran pada 21 Juni 2025, yang kemudian dibalas dengan serangan rudal Iran ke pangkalan militer AS di Qatar. Selain serangan fisik, potensi serangan siber terhadap infrastruktur teknologi dan pemerintahan global juga meningkat.

Respons Pemerintah: Diplomasi dan Strategi Ekonomi

Di tengah eskalasi konflik, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyerukan gencatan senjata dan kembali menegaskan komitmen terhadap prinsip politik luar negeri bebas aktif.

Dari sisi ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terus memantau pergerakan harga minyak dan kurs rupiah yang berpotensi terdampak gejolak global. Pemerintah juga menyiapkan langkah kebijakan jangka menengah melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

Salah satu fokus utama adalah rasionalisasi subsidi bahan bakar minyak (BBM), mengingat lonjakan harga minyak global bisa menambah tekanan terhadap APBN.

Stabilitas nilai tukar rupiah juga menjadi perhatian utama, mengingat ketidakpastian global dan volatilitas harga komoditas dapat memicu tekanan terhadap pasar keuangan dalam negeri.

Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah mengintensifkan pelaksanaan skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), serta program reskilling dan upskilling agar pekerja yang terdampak PHK bisa kembali masuk ke pasar kerja dengan kompetensi baru.

Untuk jangka panjang, pemerintah juga mendorong diversifikasi pasar ekspor guna mengurangi ketergantungan terhadap mitra dagang tradisional. Salah satu peluang datang dari kebijakan tarif baru Amerika Serikat terhadap produk asal China, yang bisa membuka celah pasar bagi industri tekstil dan alas kaki Indonesia.