Tren Ekbis

Tawarkan Tanah Jarang ke Trump, Rayuan Indonesia Diragukan akan Mempan

  • Pemerintah Indonesia resmi menawarkan ekspor logam tanah jarang (LTJ) ke Amerika Serikat sebagai bagian dari paket perdagangan senilai US$15 miliar (Rp244,5 triliun). Namun, tawaran ini masih menghadapi tantangan teknologi, politik, dan regulasi internasional.
Ilustrasi pertambangan PT Adaro Minerals Indonesia Tbk.
Ilustrasi pertambangan PT Adaro Minerals Indonesia Tbk. (adarominerals.id)

JAKARTA - Pemerintah Indonesia secara resmi menawarkan ekspor logam tanah jarang (LTJ) ke Amerika Serikat sebagai bagian dari paket perdagangan senilai US$15 miliar (sekitar Rp244,5 triliun).

Tawaran ini tidak hanya menyasar keuntungan ekonomi, tetapi juga menargetkan strategi geopolitik untuk mengurangi tarif resiprokal AS sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk Indonesia. Namun, keberhasilan tawaran ini masih bergantung pada berbagai faktor teknis, politik, dan dinamika global yang kompleks.

Seorang pejabat pemerintah yang mengetahui negosiasi tersebut mengatakan kepada The Straits Times mengatakan Jakarta berencana untuk memanfaatkan cadangan unsur tanah jarang yang dimilikinya sebagai alat tawar-menawar untuk mengurangi tingkat tarif saat batas waktu bulan Agustus semakin dekat.

"Dua puluh hari bukanlah waktu yang lama, tetapi kami memiliki dua hal yang sangat diinginkan AS. Salah satunya adalah tanah jarang," kata pejabat tersebut, yang berbicara tanpa menyebut nama. Ia menolak memberikan informasi lebih lanjut tentang aspek kedua yang ingin dimanfaatkan Indonesia. Pejabat itu menambahkan bahwa ini akan menjadi proposal resmi ketiga Indonesia kepada AS.

Amerika Serikat diketahui telah secara diam-diam meminta pasokan LTJ dari Indonesia dalam pertemuan bilateral bulan Juli 2025. Permintaan ini mencerminkan kebutuhan strategis AS terhadap komoditas mineral kritis yang menjadi fondasi teknologi pertahanan, energi hijau, hingga industri elektronik. LTJ seperti neodymium (Nd) dan praseodymium (Pr) sangat penting dalam pembuatan magnet permanen untuk turbin angin dan kendaraan listrik.

Indonesia menawarkan paket neraca perdagangan senilai  US$15 miliar (sekitar Rp244,5 triliun) yang mencakup ekspor LTJ dan LPG. Ini dianggap sebagai skema insentif yang dapat menarik perhatian AS, apalagi di tengah kebijakan diversifikasi pasokan mereka dari dominasi China. 

Hambatan Utama dan Risiko Penolakan

Para analis tidak berharap banyak akan hasil dari pembicaraan yang sedang berlangsung, mengingat ada pertimbangan politik dan domestik Amerika lainnya. Analis Henry Pranoto mengatakan tarif untuk Indonesia sebagian besar dimotivasi oleh rencana Trump untuk membawa kembali pekerjaan manufaktur ke AS.

“Tarif yang lebih tinggi dimaksudkan untuk menutupi kesenjangan upah minimum antara AS dan negara-negara berkembang,” kata Henry, yang bekerja di sebuah bank investasi yang berbasis di Jakarta kepada  The Straits Times.

Sementara itu, Dr. Nasir Tamara, mantan peneliti senior tamu di ISEAS – Yusof Ishak Institute, mencatat bahwa masuknya Indonesia baru-baru ini ke dalam BRICS juga dapat membebani proses negosiasi, karena Trump telah mengancam tarif tambahan sebesar 10 persen pada mereka yang selaras dengan pengelompokan "anti-Amerika" tersebut.

Saat ini, China menguasai sekitar 60 persen pasokan LTJ global. Indonesia, yang memiliki cadangan LTJ dalam bentuk monasit di Bangka Belitung dan Kalimantan, dinilai sebagai mitra alternatif yang potensial.

Meski potensi besar, sejumlah kendala masih membayangi. Salah satunya adalah keterbatasan teknologi pemrosesan. Indonesia hingga kini belum memiliki fasilitas pemurnian LTJ secara mandiri. 

Direktur Utama PT Timah, Restu Widiyantoro, pernah mengungkapkan bahwa pihaknya telah mencoba mengembangkan teknologi pengolahan logam tanah jarang (LTJ) selama satu dekade terakhir. Namun, keterbatasan teknologi yang dimiliki menjadi hambatan utama dalam merealisasikan proyek tersebut.

"Sampai dengan hari ini, kami akui progresnya sangat terbatas karena yang memiliki teknologi ini ternyata hanya satu atau dua pihak yang ada di dunia," kata Restu, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu, 14 Mei 2025.

Proyek milik PT Timah di Bangka Belitung telah stagnan selama lebih dari satu dekade karena minimnya mitra teknologi, hanya China dan Kazakhstan yang menguasai teknologi tersebut saat ini.

"Informasinya itu yang memiliki kemampuan untuk mengolah logam tanah jarang ini, bahkan nanti sampai menjadi bahan campuran untuk nuclear power itu sampai sekarang hanya China atau mohon maaf katanya Kazakhstan dan sebagainya,"

Selain itu, pengolahan LTJ berpotensi menghasilkan limbah radioaktif, seperti thorium dari monasit, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap standar pengelolaan lingkungan Indonesia. 

Di sisi lain, AS juga memiliki regulasi ketat melalui Defense Production Act yang menekankan pentingnya kemandirian dan keamanan rantai pasok mineral kritis. Tawaran dari Indonesia harus memenuhi persyaratan transparansi, keberlanjutan, dan keamanan rantai pasok untuk bisa dipertimbangkan secara serius.

Faktor politik juga turut mempengaruhi. Tarif resiprokal era Trump bisa saja dipertahankan jika tawaran Indonesia dinilai tidak menguntungkan secara politis di dalam negeri AS. Selain itu, keterlibatan mitra teknologi China dalam pengembangan LTJ Indonesia bisa menimbulkan resistensi dari Washington.

Tak kalah penting, penerimaan tawaran ini berisiko memicu respons dari China yang berpotensi membatasi transfer teknologi atau menahan investasi strategis di Indonesia sebagai bentuk tekanan diplomatik.

Jika dilihat dari sisi kebutuhan strategis dan potensi ekonomi, peluang penerimaan tawaran Indonesia cukup menjanjikan. Namun, masih ada risiko signifikan yang dapat menghambat realisasinya. 

Berdasarkan laporan analisis PT Timah Tbk (TINS) Indonesia memiliki cadangan monasit sebesar 25.700 ton di Bangka yang dapat dikembangkan, namun tanpa teknologi pemurnian dan SDM yang siap, potensi ini belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan.

Dinamika geopolitik juga semakin kompleks, dengan AS dan Uni Eropa berlomba mengamankan pasokan LTJ, sementara China mempertahankan dominasinya. Indonesia berada di posisi strategis untuk menjadi mitra netral, tetapi perlu berhati-hati agar tidak terseret dalam pertarungan blok global.