Tren Ekbis

Reformasi Pajak Hijau: Peluang Nyata atau Janji Kosong?

  • Meta Deskripsi: CELIOS menyebut pajak hijau berpotensi hasilkan ratusan triliun rupiah per tahun. Namun, pemerintah dinilai lamban mengambil langkah konkret.
green-financing.jpg
Ilustrasi pembiayaan hijau. (Istimewa)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Di tengah sorotan publik mengenai keadilan pajak, kembali mengemuka wacana reformasi perpajakan berbasis lingkungan atau green tax. Pajak ini dinilai memiliki fungsi ganda: menambah penerimaan negara sekaligus mendorong transisi menuju ekonomi berkelanjutan.

Sayangnya, hingga kini potensi besar tersebut belum tergarap optimal. Pemerintah terkesan berhati-hati, bahkan lamban, dalam mengintegrasikan instrumen hijau ke dalam kerangka perpajakan nasional. Kondisi ini memunculkan pertanyaan: apakah pajak hijau benar-benar peluang nyata atau hanya sekadar jargon politik?

Potensi Penerimaan dari Pajak Hijau

Riset terbaru Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkap sederet potensi penerimaan negara dari pajak lingkungan, dengan angka mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.

1. Pajak Karbon

Instrumen utama yang disorot adalah pajak karbon. Dengan mekanisme dan tarif yang tepat, pajak ini berpotensi menyumbang Rp76,36 hingga Rp152,72 triliun per tahun.

Formula perhitungan potensi pajak karbon:

Total Emisi Karbon x Tarif Pajak x Nilai Tukar   = 930 juta tCO₂e x US$5/tCO₂e x Rp16.421   = Rp76,36 triliun

Pajak karbon dirancang berbasis tingkat emisi dengan skema tarif bertahap agar lebih adil dan tidak membebani usaha kecil. Namun, penerapannya di Indonesia kerap terbentur dominasi PLTU batu bara yang masih menjadi tulang punggung energi nasional.

2. Pajak Produksi Batu Bara

Selain karbon, pajak produksi batu bara juga dinilai memiliki potensi besar. Jika diterapkan, instrumen ini bisa menambah penerimaan Rp34,33 hingga Rp66,49 triliun per tahun.

Formula perhitungan pajak produksi batu bara:

Realisasi Produksi Batu Bara x Tarif Pajak Usulan   = 836,13 juta ton x US$2,5 x Rp16.421   = Rp34,33 triliun

Dibandingkan pajak ekspor, pajak produksi dinilai lebih tepat karena mampu menekan konsumsi batu bara domestik sekaligus mengurangi risiko carbon leakage di pasar global.

3. Pajak Biodiversitas

Instrumen lain yang diusulkan adalah pajak biodiversitas, yakni pungutan atas kerugian ekologis akibat rusaknya kawasan lindung. Meski konsepnya menarik, tantangan terbesar terletak pada ketiadaan standar baku untuk mengukur nilai kerugian ekologis. Hal ini membuat implementasinya masih sulit diwujudkan dalam waktu dekat.

Momentum atau Retorika?

Secara potensi, angka-angka tersebut sangat signifikan. Pajak hijau bukan hanya membuka ruang fiskal baru bagi negara, tetapi juga menjadi motor transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Namun, CELIOS mencatat arah kebijakan pemerintah masih abu-abu. Alih-alih menempatkan pajak lingkungan sebagai pilar reformasi fiskal, kebijakan yang berjalan justru kompromistis. Aturan teknis disusun lambat, sementara implementasi masih terbatas. Akibatnya, peluang emas pajak hijau hanya sebatas wacana.

Pertanyaan pun mengemuka: apakah reformasi pajak hijau benar-benar akan diwujudkan, atau sekadar retorika politik?

CELIOS menegaskan, tanpa langkah konkret dan keberanian politik, momentum besar menuju ekonomi berkelanjutan akan terbuang sia-sia. Bagi Indonesia yang sudah menetapkan target net zero emission, pajak hijau seharusnya menjadi instrumen inti dalam strategi transisi energi dan pembangunan rendah karbon. Momentum sudah ada, data mendukung, kini tinggal menunggu keberanian untuk mengeksekusi.