Tren Ekbis

Negara Bisa Tambah Rp524 T per Tahun dari Pajak Alternatif

  • Indonesia sesungguhnya punya ruang fiskal yang jauh lebih besar dibandingkan yang terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hasil kajian terbaru Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang 2025 menunjukkan, penerapan pajak alternatif yang lebih progresif berpotensi mendongkrak penerimaan negara hingga Rp524 triliun per tahun.
pajak natura
Ilustrasi form pajak (Foto: Pexels/Nataliya Vaitkevich)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Indonesia sesungguhnya punya ruang fiskal yang jauh lebih besar dibandingkan yang terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hasil kajian terbaru Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang 2025 menunjukkan, penerapan pajak alternatif yang lebih progresif berpotensi mendongkrak penerimaan negara hingga Rp524 triliun per tahun.

Potensi itu berasal dari berbagai sumber pajak baru maupun pengetatan insentif fiskal yang selama ini lebih banyak dinikmati kelompok konglomerasi besar. Jika dijumlahkan, total potensi penerimaan baru diperkirakan berkisar Rp469–524 triliun setiap tahun.

Pajak Kekayaan hingga Karbon

Dalam hitungan para peneliti, pajak kekayaan menjadi salah satu penyumbang terbesar. Hanya dengan memajaki 50 orang terkaya di Indonesia dengan tarif 2% dari total kekayaannya, negara bisa memperoleh Rp81,6 triliun per tahun.

Selain itu, pajak karbon berpotensi menambah Rp76,4 triliun, sementara pajak windfall profit sektor ekstraktif diperkirakan menghasilkan Rp49,9 triliun. Pajak produksi batubara juga menyumbang besar, yakni di kisaran Rp34,3–66,5 triliun.

Tak hanya dari sektor energi dan sumber daya alam, pajak digital berpotensi mendongkrak kas negara sebesar Rp22,5–29,5 triliun, diikuti pajak warisan dengan potensi Rp6–20 triliun, serta cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang bisa menghasilkan Rp3,9 triliun.

Instrumen lain yang dinilai bisa memperluas basis pajak adalah penerapan pajak capital gain sebesar Rp7 triliun, pajak kepemilikan rumah ketiga yang mencapai Rp1,1–2,2 triliun, serta pengenaan pajak atas kerugian lingkungan melalui Biodiversity Loss Tax yang nilainya mencapai Rp48,6 triliun per tahun.

Hentikan Insentif Pro-Konglomerat

Di luar pajak baru, kajian juga menyoroti perlunya pengakhiran insentif pajak yang selama ini dinilai lebih banyak menguntungkan kelompok konglomerat. Dengan mencabut insentif yang tidak produktif, negara diproyeksikan bisa menghemat hingga Rp137,4 triliun.

Sementara itu, opsi penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% ke 8% justru disebut bisa menambah Rp1 triliun penerimaan, seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat akibat harga barang dan jasa yang lebih terjangkau.

Jika seluruh potensi tersebut digarap dengan serius, Indonesia bisa memiliki ruang fiskal tambahan setara dengan 20–25% dari target penerimaan perpajakan nasional 2024. 

Dengan kata lain, ketergantungan pada utang negara bisa ditekan, dan APBN dapat lebih fokus membiayai program-program strategis seperti pendidikan, kesehatan, serta transisi energi.

“Temuan ini menunjukkan bahwa sebenarnya ruang fiskal kita besar, tinggal keberanian politik yang diperlukan untuk merealisasikan pajak alternatif secara progresif,” demikian bunyi kesimpulan dalam laporan tersebut.

Tantangan Politik dan Teknis

Namun, penerapan pajak alternatif bukan tanpa hambatan. Sejumlah tantangan yang kerap muncul adalah resistensi dari elite ekonomi, lemahnya integrasi data aset nasional, hingga ketidakjelasan dalam penegakan hukum terhadap praktik penghindaran pajak.

Selama ini, pendekatan perpajakan di Indonesia lebih menekankan insentif jangka pendek ketimbang reformasi struktural yang menyentuh akar persoalan. Tanpa perubahan mendasar, potensi penerimaan sebesar Rp524 triliun ini bisa kembali sekadar menjadi angka di atas kertas.

Meski begitu, wacana pajak alternatif tetap dinilai krusial. Selain menambah penerimaan negara, pajak progresif juga menjadi instrumen pemerataan sosial di tengah ketimpangan yang kian melebar. Dengan tambahan fiskal sebesar ini, Indonesia sejatinya punya peluang untuk menata ulang arah pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan.