Tren Ekbis

OJK Nilai Suntikan Rp200 Triliun ke Himbara Perkuat Penyaluran Kredit

  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai kebijakan pemerintah menyalurkan dana Rp200 triliun ke lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) bisa memperkuat likuiditas perbankan nasional, sekaligus meningkatkan kapasitas penyaluran kredit.
Ketua Dewan Komisioner LPS.jpg
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa (Tangkapan layar Zoom Meeting Konferensi Pers TBP, Selasa, 27 September 2022)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai kebijakan pemerintah menyalurkan dana Rp200 triliun ke lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) bisa memperkuat likuiditas perbankan nasional, sekaligus meningkatkan kapasitas penyaluran kredit.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyatakan, guyuran dana ini langsung memengaruhi dua aspek penting, yaitu likuiditas bank dan kemampuan bank menyalurkan pinjaman.

“Rasionya antara alat likuid dengan dana pihak ketiga, DPK, itu sebelumnya beberapa di bawah 20%, dengan adanya masukan dana Rp200 triliun ini sekarang sudah berada di atas 20% semua. Dan memang 20% itu threshold yang baik untuk mengukur likuiditas suatu bank,” kata Mahendra, Selasa, 16 September 2025.

Penempatan dana pemerintah tersebut turut memperbaiki rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) perbankan. Mahendra mengatakan, sebelumnya beberapa bank Himbara mencatat LDR di atas 90%, namun setelah adanya tambahan dana pemerintah kini turun ke bawah 90%.

“Dengan adanya dana Rp200 triliun ini maka LDR mereka sekarang turun di bawah 90%, sehingga memberikan ruang lebih besar bagi bank-bank itu untuk memberikan pinjaman, kredit kepada debitur. Nah ini pada gilirannya akan diserahkan kepada bank untuk menilai mana yang baik untuk bisa dilakukan (pemberian kredit),” jelasnya, dilansir dari Antara.

Menurutnya, perbankan telah memiliki analisis risiko sendiri dalam penyaluran kredit, sesuai dengan prinsip-prinsip prudensial yang berlaku.

Dia juga meminta arahan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai pemberian kredit ke sektor-sektor prioritas yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Adapun, OJK mencatat rasio LDR seluruh perbankan per Juli 2025 berada di level 86,54%. Ia juga optimis rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) di bank Himbara akan tetap terkendali.

Sebelumnya, Ekonom senior Indef Didik J. Rachbini, meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyalurkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke perbankan.

Menurutnya, kebijakan tersebut tidak sesuai dengan prosedur pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menilai langkah tersebut berpotensi melanggar konstitusi serta tiga undang-undang yang mengatur tata kelola keuangan negara.

Dia menjelaskan, proses penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN diatur secara detail dalam Pasal 23 UUD 1945, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, serta UU APBN yang berlaku tiap tahun.

Ia menekankan, dana pemerintah berasal dari anggaran publik, sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan harus melalui mekanisme politik dan legislatif di DPR.

“Karena anggaran negara adalah ranah publik, maka proses politik yang bernama legislasi dijalankan bersama oleh DPR dengan pembahasan-pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri dan badan anggaran dengan menteri keuangan,” ungkapnya.

Ia menilai, kebijakan memindahkan Rp200 triliun dari kas negara ke bank umum, lalu menyalurkannya ke sektor industri atau individu sebagai kredit, melanggar aturan perundangan yang ada.

Menurutnya, prosedur ini tidak tercantum dalam nota keuangan maupun RAPBN yang resmi diajukan pemerintah ke DPR.

Didik menilai, penempatn dana Rp200 triliun justru menyimpang dari ketentuan Pasal 22 ayat (4), (8), dan (9) UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Menurut aturan tersebut, Menteri Keuangan memang diperbolehkan membuka rekening penerimaan dan pengeluaran di bank umum, namun penggunaannya terbatas untuk kebutuhan operasional APBN.

Ia menekankan, kebijakan harus dijalankan sesuai mekanisme resmi, meski tujuannya baik untuk mendorong penyaluran kredit. Di samping itu, ia mengingatkan risiko terciptanya preseden buruk jika praktik semacam ini terus dibiarkan.

Didik menganjurkan agar presiden Prabowo turun tangan untuk menghentikan program dan praktik jalan pintas seperti ini karena telah melanggar tiga UU sekaligus konstitusi.

"Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya,” tandasnya.