Tren Ekbis

Membongkar Paradigma Bisnis Kapal: Mengapa Unit Tua Tetap Mahal?

  • Praktik akuisisi perusahaan secara keseluruhan lebih diminati daripada sekadar membeli unit kapal baru. Sebab kapal baru tanpa izin operasi tidak akan laku.
ASDP
Ilustrasi kapal feri yang dikelola ASDP (ASDP)

JAKARTA, TRENASIA.ID-- Perbedaan mendasar antara logika hukum dan praktik bisnis riil dalam industri penyeberangan kembali mencuat seiring bergulirnya kasus hukum yang menjerat mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi. Belum lama ini, Ira mendapatkan rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto.

Ekonom Rhenald Kasali, menghadirkan pengusaha kapal berpengalaman, Sabri Ramdhani, untuk memberikan sudut pandang pelaku usaha mengenai penilaian aset dan potensi bisnis kapal feri. Dalam perbincangan yang disiarkan di kanal YouTube Rhenald Kasali, pengusaha kapal asal Samarinda, Sabri Ramdhani memaparkan fakta krusial. 

Mantan aktivis Dewan Mahasiswa ini menyebut bahwa nilai sebuah kapal penyeberangan tidak semata ditentukan oleh usia atau penyusutan akuntansi, melainkan oleh izin operasi yang melekat pada perusahaan pemiliknya. 

“Karena kalau beli kapal, satu kapal tua dengan kapal baru itu ternyata harganya beda jauh, tetapi pendapatannya sama. Itu satu. Yang kedua, kalau kita beli kapal, nggak ada yang mau beli. Karena izinnya melekat di perusahaan. Jadi harus perusahaannya diambil,” kata pengusaha perkapalan yang sudah berkecimpung selama 30 tahun itu.

Dalam konteks industri yang sebagian besar rute komersialnya telah dikenai moratorium, kepemilikan izin menjadi barang langka yang sangat berharga. Ramdhani bahkan mengungkapkan kesediaannya membeli kapal yang harganya secara akuntansi sudah menyusut hingga tidak bernilai, dengan harga tiga kali lipat dari harga penyusutan tersebut. Hal itu asalkan kapal dan izin operasinya aman. 

Kondisi ini menjelaskan mengapa praktik akuisisi perusahaan secara keseluruhan lebih diminati daripada sekadar membeli unit kapal baru. Sebab kapal baru tanpa izin operasi tidak akan laku. Sementara kapal tua berusia 30 hingga 50 tahun yang masih beroperasi dapat menghasilkan pendapatan yang setara dengan kapal baru.

Fungsi Kapal Feri sebagai Mesin Pertumbuhan 

Rhenald Kasali dan Sabri Ramdhani sepakat bahwa perhitungan kerugian negara dalam kasus akuisisi kapal harus dikoreksi. Mereka menekankan kapal feri komersial berfungsi sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dan logistik nasional, bukan sekadar aset yang dihitung berdasarkan nilai besi tua atau scrap (sekitar Rp5.000 per kilogram), seperti yang kerap dijadikan dasar dalam persidangan. 

Keberadaan rute penyeberangan yang dioperasikan, seperti jalur Balikpapan-Surabaya yang dibuka Sabri Ramdhani pada tahun 2001, terbukti memberikan keuntungan besar bagi negara. 

Keuntungan ini mencakup penurunan inflasi di Kalimantan karena pasokan bahan pokok dan elektronik menjadi lebih lancar dan murah, terbukanya pasar baru bagi pengusaha di Jawa, terciptanya lapangan pekerjaan bagi puluhan hingga ratusan orang per kapal, serta penerimaan pajak dan kegiatan ekonomi pendukung lainnya. 

Dengan pendapatan kapal kecil yang bisa mencapai Rp1 miliar per bulan di lintasan komersial, potensi keuntungan operasionalnya sangat signifikan, jauh melebihi potensi kerugian yang dihitung berdasarkan nilai aset mati.

Terkait persepsi negatif mengenai kapal yang berada di dok, Sabri Ramdhani meluruskan bahwa kapal yang masuk dok selama kurang lebih satu bulan setiap tahun adalah kewajiban regulasi yang harus dipenuhi setiap operator. 

“Kapal yang telah beroperasi selama 11 bulan wajib menjalani perawatan dan pemeriksaan ketat (docking) oleh otoritas terkait seperti Perhubungan Laut, Perhubungan Darat, dan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) untuk memastikan standar keselamatan pelayanan (SPM) dan kelayakan teknis, termasuk pemeriksaan lambung di bawah air yang memakan biaya besar, sekitar Rp 1 miliar untuk kapal kecil,” urainya. 

Oleh karena itu, kondisi kapal di dok tidak dapat serta-merta diartikan sebagai kapal rusak atau mangkrak, melainkan sebagai bagian integral dari siklus operasional dan pemeliharaan yang ketat.

Pentingnya Business Judgement Rule 

Dalam proses akuisisi, Sabri Ramdhani menjelaskan hasil penilaian KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) cenderung menaksir harga di bawah nilai pasar riil. Oleh karena itu, pengusaha sering kali harus melakukan negosiasi dan menaikkan harga (top up) di atas taksiran KJPP agar penjual mau melepas perusahaan yang memiliki prospek bisnis dan izin yang menguntungkan. 

Rhenald Kasali menegaskan penilaian ini harus dilindungi oleh prinsip Business Judgement Rule (BJR), yang mengakui bahwa keputusan bisnis yang diambil direksi secara profesional dan didasari feeling atau judgement atas potensi "cuan" tidak boleh serta-merta dikriminalisasi, meskipun terdapat perbedaan dalam penilaian harga oleh pihak lain. 

Menurut Ramdhani, dalam kasus akuisisi BUMN, verifikasi dan due diligence yang melibatkan KJPP, audit investigasi, dan perhitungan bank yang didasarkan pada proyeksi pendapatan sudah memadai untuk membuat keputusan bisnis.

Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, divonis 4 tahun 6 bulan penjara serta denda dalam kasus korupsi terkait akuisisi 53 kapal dari PT Jembatan Nusantara (JN). Mahal kerugian negara yang disinyalir mencapai ± Rp 1,25 triliun menjadi dasar dakwaan. 

Namun, pada 25 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menggunakan hak rehabilitasi dengan menandatangani surat yang memulihkan “nama baik, harkat dan martabat” bagi Ira dan dua mantan direksi lainnya. 

Tulisan ini telah tayang di ibukotakini.com oleh Ferry Cahyanti pada 26 Nov 2025