Bau Monopoli Pertamina di Balik Kelangkaan BBM SPBU Swasta
- Pemerintah membatasi impor BBM SPBU swasta dan menunjuk Pertamina sebagai importir tunggal, di tengah skandal korupsi triliunan rupiah.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Pemerintah melalui Kementerian ESDM memberlakukan pembatasan kuota impor BBM untuk SPBU swasta pada tahun 2025 dengan beberapa alasan mendasar.
Periode izin impor BBM yang sebelumnya satu tahun kini dipersingkat menjadi enam bulan dengan evaluasi setiap tiga bulan sebagai bagian dari perbaikan tata niaga impor dan ekspor BBM.
Selain itu, pemerintah menghentikan impor BBM dari Singapura yang selama ini menyumbang 54-59% impor nasional, dan secara bertahap mengalihkan sumber impor ke negara-negara Timur Tengah serta Amerika Serikat.
“Itu kan perusahaan AS. Jadi, dari mana pun mereka melakukan pengadaan, itu terserah. Tetapi ini kami catatkan sebagai trade balance Indonesia dengan Amerika,” jelas Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, dalam keterangan resmi, dikutip Rabu, 17 September 2025.
Pemerintah juga mengklaim memberikan tambahan kuota impor sebesar 10% bagi pengelola swasta dibandingkan tahun 2024, meski operator menilai hal itu tidak mencukupi.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan kebijakan ini bagian dari menjaga neraca komoditas dan mengurangi ketergantungan impor dengan prinsip “habiskan dulu” stok yang ada.
Pemerintah beralasan bahwa kelangkaan di SPBU swasta lebih dipicu oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. Yuliot Tanjung menyebut adanya peralihan konsumsi dari BBM subsidi ke non-subsidi hingga mencapai 1,4 juta kiloliter, akibat kewajiban QR Code dalam pembelian BBM bersubsidi yang memaksa masyarakat beralih ke BBM non-subsidi.
Sementara itu, Dirjen Migas Laode Sulaeman menegaskan tidak ada kelangkaan BBM, melainkan hanya perubahan dinamika konsumsi, di mana masyarakat mulai lebih banyak menggunakan BBM beroktan 92 ke atas.
Baca juga : Demo Ojol Garda Dinilai Politis, Ekonom: Hormati Ojol yang Tetap On Bid
SPBU Swasta sebagai "Reseller" Pertamina
Kebijakan kontroversial lain adalah kewajiban SPBU swasta yang kehabisan stok untuk membeli BBM dari Pertamina melalui mekanisme sinkronisasi. Pemerintah menugaskan Pertamina sebagai importir satu pintu yang akan memasok kebutuhan SPBU swasta melalui skema business to business (B2B).
Data kebutuhan volume dan spesifikasi BBM dari SPBU swasta dikumpulkan Kementerian ESDM, diolah, dan kemudian diberikan kepada Pertamina. Pemerintah juga menegaskan tidak akan memberikan tambahan kuota impor baru bagi SPBU swasta di tahun 2025.
"Tidak ada (impor baru). Sinkronisasi dengan Pertamina, jadi disinkronkan semuanya. Ini saya bilang tidak ada kelangkaan. Kalau ada atau tidak kelangkaan itu mungkin belum tahu bahwa ada di sana kok, ada di sana," ujar Laode di Jakarta, belum lama ini.
Kebijakan ini membawa sejumlah konsekuensi. Konsumen mengalami penurunan pilihan dalam membeli BBM berkualitas dengan spesifikasi berbeda yang biasanya ditawarkan SPBU swasta seperti Shell V-Power atau BP Ultimate.
SPBU swasta juga menjadi sangat bergantung pada pasokan Pertamina dan kehilangan kemandirian dalam pengadaan stok. Dampaknya, perusahaan seperti BP Indonesia bahkan harus mengevaluasi kembali rencana bisnis dan pembangunan SPBU baru karena ketidakpastian pasokan yang muncul.
Fahmy Radhi, ekonom dari UGM, menyoroti kebijakan pemerintah ini menciptakan monopoli de facto oleh Pertamina. Pembatasan impor dan kewajiban membeli BBM dari Pertamina dianggap membatasi persaingan sehat di sektor energi.
Namun tudingan monopoli tersebut dibantah Kepala Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus (Bappisus) Aries Marsudiyanto. Aries menegaskan monopoli tidak terjadi meski SPBU swasta nantinya bakal membeli stok BBM di Pertamina.
“Monopoli? Enggak ada monopoli.ya Semuanya didistribusikan dengan sebaik-baiknya. Tinggal kalau ada masalah-masalah teknis di lapangan, semuanya dikoordinasikan,” kata dia.
Skandal Korupsi Pertamina
Pertamina sendiri belum lama ini diguncang skandal korupsi berskala besar dengan estimasi kerugian negara yang berbeda-beda. Kejaksaan Agung memperkirakan kerugian Rp193,7 triliun, investigasi lanjutan menyebut Rp285 triliun, bahkan pemberitaan media menyebut hingga Rp968,5 triliun.
Modus korupsi yang terungkap mencakup manipulasi pengadaan dan impor minyak mentah melalui trader swasta dengan harga lebih tinggi dari pasar, penyewaan terminal minyak dengan harga tidak wajar tanpa tender, pencampuran BBM subsidi dan nonsubsidi untuk keuntungan lebih besar, serta rekayasa laporan distribusi dan keuangan.
Sebagai respon, Kejaksaan Agung telah menetapkan 11 tersangka yang terdiri dari tujuh orang penyelenggara negara dan empat pihak swasta, termasuk sejumlah direktur Pertamina.
Pemeriksaan terhadap saksi dari berbagai unit bisnis juga dilakukan untuk memperkuat pembuktian. Publik mendesak adanya audit forensik total terhadap seluruh pengadaan dan distribusi energi BUMN.
Selain itu, muncul rekomendasi penggunaan sistem digital berbasis blockchain untuk transparansi anggaran dan kontrak bisnis energi agar tidak mudah dimanipulasi.
Rivqy Abdul Halim, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKB, menegaskan skandal korupsi Pertamina harus menjadi momentum reformasi menyeluruh. Ia mendorong adanya peningkatan transparansi dan pengawasan ketat agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
“Kasus ini menimbulkan kerugian negara yang besar dan berisiko mengurangi kepercayaan publik terhadap Pertamina. Diperlukan langkah-langkah pencegahan yang komprehensif agar integritas perusahaan bisa pulih dan kasus serupa tidak terjadi lagi,” ujar Rivqy di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia juga menegaskan pentingnya perbaikan tata kelola sektor migas secara menyeluruh. Menurut mereka, pengungkapan kasus korupsi tidak boleh berhenti pada penetapan tersangka, melainkan harus menjadi dorongan nyata untuk memperbaiki tata kelola energi nasional.
Baca juga : Asing Kalap Akumulasi Saham ANTM, Target Baru Tembus 4000-an
“Pengungkapan kasus ini harus menjadi momentum perbaikan tata kelola sektor migas, termasuk tata kelola dalam Pertamina. Mafia memang akan selalu ada yang melahirkan sistem usaha yang tidak adil , tidak berkompetisi secara sehat,” tulis PWYP Indonesia dalam laporannya.
Kebijakan pembatasan impor BBM swasta dan penugasan Pertamina sebagai importir tunggal mencerminkan dilema antara kedaulatan energi dan risiko monopoli.
Jika Pertamina berhasil melakukan reformasi internal secara transparan dan akuntabel, kebijakan ini bisa memperkuat kedaulatan energi nasional. Namun jika reformasi hanya bersifat kosmetik, kebijakan ini justru berpotensi memperkuat praktik monopoli, inefisiensi, dan rente yang merugikan masyarakat.
Karena itu, pemerintah perlu menyeimbangkan kontrol negara dengan mekanisme pasar, menjamin ketersediaan pilihan bagi konsumen, serta memberikan kepastian usaha bagi swasta.
Pengawasan DPR dan masyarakat sipil terhadap reformasi Pertamina dan kebijakan energi pemerintah akan menjadi kunci agar sektor energi benar-benar mampu mencapai kedaulatan dan kemandirian yang berkeadilan.

Chrisna Chanis Cara
Editor
