Tren Ekbis

Bank Dunia: Gap Pertumbuhan Ekonomi RI-Vietnam Hampir 2 Persen

  • Dalam laporan tersebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah target Presiden Prabowo Subianto sebesar 5,3% dan lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Filipina dan Vietnam yang masing-masing 5,3% dan 6,6%. Artinya ada gap hampir 2% antara pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Vietnam. Simak faktor penyebabnya.
Ekspor
Ilustrasi ekspor (unsplash.com/@andylid0)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Bank Dunia menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,8%, naik dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,7%. Proyeksi tersebut tercantum dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2025 yang dirilis pada Selasa, 7 Oktober 2025.

Dalam laporan tersebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah target Presiden Prabowo Subianto sebesar 5,3% dan lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Filipina dan Vietnam yang masing-masing 5,3% dan 6,6%. Artinya ada gap hampir 2% antara pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Vietnam. 

Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik (EAP) masih relatif solid. Namun, Bank Dunia mengingatkan strategi yang saat ini menopang pertumbuhan belum tentu menjamin keberlanjutan ekonomi di masa mendatang.

Bank Dunia juga menyoroti pertumbuhan tahunan di China dan Indonesia, yang keduanya tumbuh sekitar 5%, melampaui estimasi potensi pertumbuhan jangka panjang berkat dukungan kebijakan fiskal pemerintah.

Laporan tersebut menilai tantangan yang dihadapi kedua negara berbeda. China menghadapi tekanan besar akibat defisit fiskal yang melebar, sementara di Indonesia, lebih lebih disebabkan oleh struktur belanja pemerintah yang masih banyak didominasi untuk subsidi dan investasi negara.

Diperkirakan defisit fiskal China akan meningkat dari 4,5% pada 2019 menjadi 8,1% pada 2025. Sementara itu, rasio utang publik terhadap produk domestik bruto (PDB) diperkirakan mencapai 70,8% tahun ini. Kenaikan ini diperkirakan akan membatasi ruang bagi pemerintah China untuk memberikan stimulus fiskal pada 2026.

Sedangkan, Indonesia dianggap masih menjaga defisit anggaran dalam batas aman sesuai ketentuan undang-undang fiskal nasional. Meski begitu, Bank Dunia menilai struktur belanja publik perlu diperbaiki agar lebih produktif dan mendukung pertumbuhan jangka panjang.

Bank Dunia melaporkan, saat ini, anggaran pemerintah Indonesia banyak terserap untuk subsidi pangan, transportasi, energi, serta investasi negara yang bertujuan mempertahankan permintaan agregat.

Bank Dunia menekankan, China dan Indonesia perlu melakukan reformasi, seperti penghapusan hambatan non-tarif di sektor jasa, deregulasi, dan penyederhanaan perizinan usaha, khususnya di Indonesia, untuk meningkatkan potensi pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja yang lebih produktif.

Negara-negara di kawasan seperti Filipina dan Vietnam telah melaksanakan reformasi struktural yang berpotensi meningkatkan efisiensi ekonomi dan proyeksi pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi Filipina dan Vietnam diperkirakan lebih tinggi dibanding Indonesia, masing-masing sebesar 5,3% dan 6,6%.

Filipina dan Vietnam telah lebih agresif dalam menjalankan reformasi. Misalnya, Filipina membuka sektor strategis seperti logistik, telekomunikasi, dan energi terbarukan untuk mendorong persaingan yang lebih sehat, dan memperkuat kapasitas tenaga kerja melalui kerangka Enterprise-Based Education and Training (EBET).

Sementara, sejak 2024 Vietnam melakukan reformasi birokrasi besar-besaran, termasuk pengurangan jumlah kementerian dan pegawai negeri hingga 20%, serta pembaruan berbagai undang-undang ekonomi untuk memperkuat iklim investasi.

Vietnam diproyeksikan menjadi negara dengan pertumbuhan tercepat di antara ekonomi berkembang di Asia Timur dan Pasifik pada 2025, dengan produk domestik bruto (PDB) diperkirakan naik 6,6%, menjadi laju tercepat di kawasan ini, menurut East Asia and Pacific Economic.

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan keseluruhan kawasan akan melambat menjadi 4,8% tahun ini dari 5% pada 2024, kemudian turun lebih lanjut menjadi 4,3% pada 2026, akibat hambatan perdagangan, ketidakpastian geopolitik, dan ketergantungan pada stimulus fiskal yang menekan momentum.

Meski demikian, kawasan ini tetap menjadi sorotan positif global, didorong oleh ketahanan ekonomi dan peluang besar untuk reformasi struktural.

Pemulihan Kuat Mendukung Prospek Vietnam

Keunggulan Vietnam berasal dari pemulihan tajam sektor manufaktur dan lonjakan belanja konsumen, yang didukung oleh pengelolaan makroekonomi yang efektif, inflasi yang terkendali, serta bantuan pasca-pandemi bagi perusahaan.

Dalam konferensi pers pada 7 Oktober, Aaditya Mattoo, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, menekankan sekitar 80% lapangan kerja baru di Vietnam berasal dari perusahaan muda dan dinamis, menunjukkan vitalitas sektor swasta yang positif.

Namun, ia juga menyoroti penurunan proporsi perusahaan semacam itu baru-baru ini, yang mencerminkan adanya hambatan struktural dan regulasi yang masih mengakar. Vietnam telah berkembang dengan mengkhususkan diri dalam industri dan sektor jasa, terutama pada segmen bernilai tambah tinggi.

Namun, Mattoo menekankan reformasi kelembagaan dan peningkatan produktivitas sangat penting agar negara ini dapat memanfaatkan pergeseran rantai pasok global secara maksimal.

Menurutnya, strategi “China +1” membuka peluang besar untuk menarik investasi, tetapi integrasi Vietnam ke jaringan produksi regional masih terbatas. Reformasi tata kelola ekonomi yang lebih kuat dan peningkatan produktivitas akan menjadi kunci untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Tantangan Eksternal dan Prioritas Domestik

Laporan tersebut juga menyoroti dampak tarif baru Amerika Serikat terhadap negara-negara regional yang sangat bergantung pada ekspor.

Bagi Vietnam, Mattoo menyatakan bahwa langkah-langkah penanggulangan sebaiknya tidak hanya fokus pada diversifikasi ekspor, tetapi juga memperkuat permintaan domestik dan meningkatkan produksi bernilai tambah tinggi.

Percepatan transformasi digital, peningkatan kapasitas tata kelola, dan dorongan inovasi di sektor swasta menjadi faktor utama bagi fase pertumbuhan berikutnya.

Peningkatan produktivitas tenaga kerja dianggap penting untuk membangun model pertumbuhan yang berkualitas, yang dipimpin oleh industri-industri bernilai tambah tinggi.

Menurut Bank Dunia, reformasi kelembagaan, inovasi, dan peningkatan keterampilan tenaga kerja tidak hanya akan mempertahankan laju pertumbuhan tinggi Vietnam, tetapi juga meningkatkan kualitas pertumbuhan, menuju ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.