Atasi Krisis Populasi, China Beri Bonus Uang Bagi yang Mau Punya Anak
- China menghadapi penurunan populasi. Berbagai insentif, termasuk bonus bagi pasangan yang punya anak, digelontorkan untuk dorong angka kelahiran.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - China tengah menghadapi tantangan demografi terbesar dalam sejarah modernnya. Selama tiga tahun berturut-turut, populasi Negeri Tirai Bambu mengalami penurunan, sementara jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat.
Untuk mengatasi krisis populasi dan mendorong angka kelahiran, pemerintah China meluncurkan sistem subsidi perawatan anak nasional yang berlaku mulai Januari 2025.
Melalui kebijakan baru ini, setiap keluarga berhak memperoleh subsidi sebesar 3.600 yuan (sekitar Rp8,2 juta) per tahun untuk setiap anak berusia hingga tiga tahun.
Menariknya, subsidi ini tidak membedakan antara anak pertama, kedua, maupun ketiga. Pemerintah memperkirakan lebih dari 20 juta keluarga akan merasakan manfaatnya setiap tahun.
Menurut laporan laman media pemerintah China, Xinhua, kebijakan ini berlaku surut sejak 1 Januari 2025. Artinya, keluarga dengan anak yang lahir sebelum 2025 namun masih berusia di bawah tiga tahun tetap berhak atas subsidi, dihitung secara prorata. Berbeda dengan insentif lokal sebelumnya yang ditanggung daerah, program kali ini sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah pusat.
Pendaftaran dan Penyaluran Bertahap
Keluarga dapat mendaftar secara online maupun offline. Xinhua mencatat, hingga 10 September 2025, lebih dari 80% pemohon yang memenuhi syarat sudah menyelesaikan proses registrasi. Pemerintah memastikan pencairan dilakukan secara bertahap sesuai kesiapan provinsi, dengan target seluruh negeri terjangkau pada akhir Agustus 2025.
Kebijakan ini muncul di tengah situasi populasi yang terus menyusut. Pada 2024, jumlah bayi yang lahir hanya 9,54 juta, turun drastis dibandingkan 18,8 juta kelahiran pada 2016 ketika kebijakan satu anak resmi dicabut.
Di sisi lain, populasi lanjut usia melonjak. Saat ini, terdapat sekitar 310 juta penduduk berusia 60 tahun ke atas dari total 1,41 miliar jiwa. Kondisi ini menimbulkan ancaman bagi stabilitas tenaga kerja, produktivitas, hingga keberlanjutan sistem jaminan sosial.
Generasi muda enggan menikah dan memiliki anak. Alasannya beragam, biaya hidup dan pendidikan yang tinggi, tekanan pekerjaan, hingga ketidakpastian ekonomi. Banyak pula yang menilai peran pengasuhan anak masih lebih berat dipikul perempuan, menciptakan kesenjangan gender dalam kehidupan keluarga.
Selain subsidi tunai, pemerintah juga memperkuat kebijakan pendukung. Pengurangan pajak penghasilan untuk perawatan anak di bawah tiga tahun dan pendidikan dinaikkan menjadi 2.000 yuan per bulan per anak. Layanan kesehatan ibu dan bayi diperluas, termasuk teknologi reproduksi berbantuan yang kini ditanggung asuransi.
Provinsi-provinsi di China juga memperpanjang cuti melahirkan dan cuti pengasuhan anak, serta memperluas akses pendidikan prasekolah gratis dan layanan penitipan anak terjangkau.
Sebelum kebijakan nasional ini, beberapa daerah sudah lebih dulu bereksperimen. Misalnya, Kota Hohhot menawarkan subsidi 100.000 yuan bagi pasangan dengan anak ketiga, sedangkan Shenyang memberikan 500 yuan per bulan untuk keluarga dengan anak ketiga di bawah tiga tahun.
Menurut estimasi lembaga riset Citi Research, pemerintah dapat menggelontorkan hingga 117 miliar yuan (Rp267 triliun) untuk program ini hanya pada paruh kedua 2025. Meski jumlahnya besar, banyak analis menilai subsidi ini lebih berperan sebagai stimulus konsumsi jangka pendek ketimbang solusi jangka panjang untuk masalah demografi.
Biaya membesarkan seorang anak di China hingga usia 17 tahun rata-rata mencapai Rp1,24 miliar. Angka ini membuat subsidi Rp8,2 juta per tahun dianggap hanya “setetes di lautan” bagi banyak keluarga.
Belajar dari Negara Lain
Dilansir TrenAsia dari berbagai sumber, sejumlah negara lain juga menghadapi tantangan serupa dengan China dalam menahan laju penurunan angka kelahiran dan penuaan populasi. Finlandia, misalnya, melalui Kota Lestijärvi menawarkan “bonus bayi” sebesar €10.000 atau sekitar Rp163 juta yang dibayarkan secara bertahap selama sepuluh tahun kepada keluarga yang memiliki anak.
Sementara itu, Estonia memberikan tunjangan bulanan sekitar Rp1,3 juta untuk anak pertama dan kedua, serta Rp1,8 juta untuk anak ketiga. Skema bantuan ini dirancang agar orang tua tidak hanya mendapat dukungan awal saat memiliki anak, tetapi juga jaminan pendapatan berkelanjutan untuk membantu biaya pengasuhan hingga anak tumbuh besar.
Di kawasan Asia, Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan angka kelahiran terendah di dunia dan berupaya mengatasinya melalui serangkaian insentif.
Ibu hamil, misalnya, menerima bantuan biaya pemeriksaan kandungan dan dukungan tunai sekitar Rp2,3 juta untuk anak pertama. Rusia pun menerapkan kebijakan serupa, di mana beberapa wilayah memberikan insentif sekali bayar sebesar 100.000 rubel atau sekitar Rp20 juta bagi perempuan hamil, termasuk mahasiswi dan siswi sekolah.
Meski nilai insentif bervariasi, pola kebijakan ini menunjukkan banyak negara mulai menyadari pentingnya dukungan finansial langsung untuk keluarga muda sebagai salah satu cara menghadapi krisis populasi.

Amirudin Zuhri
Editor
