Mengenal Rencana Pasukan Multinasional untuk Amankan Transisi di Gaza
- Pasukan stabilisasi 5.000 personel disiapkan untuk menjaga Gaza pascaperang. Namun hambatan politik, logistik, dan penolakan Israel terhadap UNRWA dan pasukan dari Turki memperlambat proses pemulihan.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Upaya komunitas internasional untuk memulihkan stabilitas di Jalur Gaza setelah perang tengah diarahkan pada pembentukan pasukan stabilisasi multinasional dengan kekuatan sekitar 5.000 personel.
Pasukan tersebut dirancang sebagai kekuatan pengaman sementara untuk mendukung proses transisi politik Palestina di tengah kondisi keamanan yang belum stabil serta kerusakan infrastruktur yang luas. Rencana ini dikabarkan berada di luar kerangka operasi penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga memerlukan legitimasi politik dan kesepakatan antarnegara yang terlibat.
Menurut laporan The Guardian, Senin 27 Oktober 2025, Mesir disebut berpotensi memimpin pasukan stabilisasi tersebut. Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA) juga disebutkan akan berkontribusi, sambil mengupayakan mandat dari Dewan Keamanan PBB agar operasi tersebut memiliki dasar hukum internasional yang jelas.
Pasukan ini direncanakan bertugas untuk melucuti senjata kelompok bersenjata, termasuk Hamas, menjaga ketertiban, serta mencegah kekosongan otoritas keamanan di wilayah yang sebelumnya dikuasai Hamas. Selain itu, kehadiran pasukan stabilisasi diharapkan dapat membantu pemulihan layanan publik dan memfasilitasi pembentukan pemerintahan transisi Palestina.
Struktur pendukung operasi ini sedang disiapkan melalui Civil-Military Coordination Center (CMCC) yang dipimpin Amerika Serikat di Kiryat Gat, Israel bagian selatan. CMCC diperkuat oleh penasihat militer dari Inggris, Prancis, Yordania, dan UEA, dengan mandat utama menyinergikan operasi keamanan serta distribusi bantuan kemanusiaan.
Berdasarkan rencana gencatan senjata sebelumnya, setidaknya 600 truk bantuan diharapkan dapat memasuki Gaza setiap hari. Namun, realisasi di lapangan baru mencapai sekitar 89 truk per hari, atau 14% dari kebutuhan minimum, yang menunjukkan masih adanya hambatan dalam akses logistik.

Penolakan terhadap UNRWA dan Keterlibatan Turki
Kontroversi muncul setelah Amerika Serikat dan Israel menolak peran Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dalam penyaluran bantuan. Pemerintah AS menilai lembaga tersebut memiliki keterkaitan dengan Hamas, sementara PBB, Uni Eropa, dan Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan tidak menemukan bukti kuat atas klaim tersebut.
Senator AS Marco Rubio dalam pernyataannya kepada The Guardian menyebut, “Tidak akan ada peran bagi UNRWA di Gaza karena badan tersebut merupakan ‘anak perusahaan Hamas’.”
Sementara itu, Norwegia dikabarkan tengah menyiapkan resolusi PBB untuk memastikan agar Israel tidak lagi menahan suplai bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Di sisi internal Palestina, Hamas dan Fatah dilaporkan telah bertemu di Kairo dan mencapai kesepakatan awal untuk membentuk komite teknokrat independen yang akan mengelola Gaza pascaperang. Komite ini direncanakan bekerja sama dengan lembaga Arab dan internasional guna memastikan keberlangsungan administrasi pemerintahan.
Namun, sumber diplomatik menyebutkan masih terdapat perbedaan pandangan, khususnya terkait sikap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang menolak keterlibatan Otoritas Palestina dalam pengelolaan Gaza setelah konflik berakhir.
Sementara itu, Turki tidak termasuk dalam rencana pasukan stabilisasi. Meskipun sempat menyatakan kesiapan mengirim pasukan, Israel menolak keterlibatan Ankara karena menilai Presiden Recep Tayyip Erdoğan memiliki kedekatan dengan Ikhwanul Muslimin dan Hamas. Kondisi ini menyebabkan tim tanggap bencana Turki dari AFAD belum memperoleh izin masuk ke Gaza melalui perbatasan Mesir.
Kebutuhan Mendesak Akan Stabilisasi Keamanan
Pejabat kemanusiaan PBB Tom Fletcher menggambarkan kondisi Gaza pascaperang sebagai wilayah yang mengalami tingkat kehancuran tinggi, dan menekankan perlunya operasi rekonstruksi serta pemulihan yang cepat.
Pasukan stabilisasi multinasional diproyeksikan menjadi elemen penting dalam mendukung keamanan jangka pendek, memperlancar distribusi bantuan, serta memfasilitasi pembentukan tatanan sipil yang berkelanjutan.
Keberhasilan misi ini masih bergantung pada tingkat koordinasi antarnegara pendukung, serta kesepakatan politik yang dapat memastikan fokus pada upaya kemanusiaan dan pemulihan Gaza.

Muhammad Imam Hatami
Editor
