Tren Pasar

Mengenal Diderot Effect, Jebakan Psikologis Bikin Investor Gagal Kaya

  • Diderot Effect menjelaskan mengapa membeli satu barang baru memicu pemborosan berantai. Simak bahaya psikologis ini bagi keuangan dan cara mengatasinya.
Sering Dapat Undangan Pernikahan Justru Bikin Boros? Ini Cara Menyiasatinya
Sering Dapat Undangan Pernikahan Justru Bikin Boros? Ini Cara Menyiasatinya (Pexels.com/Ahsanjaya)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Pernahkah Anda membeli sepatu lari baru yang mahal, lalu tiba-tiba merasa celana olahraga lama terlihat kusam? Tanpa sadar, keputusan membeli satu barang memicu reaksi berantai pengeluaran lain yang sebenarnya tidak direncanakan sebelumnya.

Dalam dunia psikologi dan ekonomi perilaku, fenomena spiral konsumsi ini dikenal sebagai Diderot Effect. Konsep ini menjelaskan mengapa kenaikan pendapatan atau gaji sering kali tidak membuat seseorang semakin kaya, melainkan justru semakin banyak menimbun barang.

Bagi investor saham, memahami jebakan ini sangat krusial. Keuntungan investasi atau dividen yang susah payah didapatkan sering kali menguap bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan karena hasrat menyelaraskan gaya hidup. Berikut adalah 4 fakta penting mengenai fenomena ini.

1. Asal-Usul 'Jubah Sutra' Denis Diderot

Istilah ini diambil dari pengalaman filsuf Prancis abad ke-18, Denis Diderot. Kisah bermula saat ia menerima hadiah jubah tidur sutra yang sangat mewah. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi kecemasan saat ia melihat perabotan kamarnya yang sederhana terlihat usang.

Satu per satu, Diderot mulai mengganti barang lamanya demi keselarasan visual. Kursi kayu diganti sofa kulit, meja kerja diperbarui, hingga hiasan dinding. Ia terjebak dalam spiral konsumsi hanya untuk menyeimbangkan standar estetika jubah barunya tersebut.

Akhirnya, sang filsuf justru terlilit utang menumpuk akibat dorongan impulsif itu. Ia menyadari bahwa dirinya telah diperbudak oleh barang mewah yang dimilikinya, padahal sebelumnya ia merasa menjadi penguasa mutlak atas barang-barang lamanya yang sederhana.

2. Bahaya Eskalasi Gaya Hidup

Fenomena ini sangat berbahaya karena menyerang sisi psikologis dan identitas pemilik modal. Banyak artikel finansial menyarankan berhemat, namun jarang membahas pemicu bawah sadar ini. Pembelian satu barang premium sering kali memicu hasrat membeli barang pelengkap lainnya.

Contoh nyata adalah saat seseorang membeli ponsel pintar keluaran terbaru. Otak secara otomatis menuntut aksesoris yang selevel, seperti penyuara telinga nirkabel atau langganan layanan awan. Eskalasi gaya hidup ini terjadi tanpa disadari demi menciptakan kesatuan identitas semu.

Bagi investor saham, efek psikologis ini adalah musuh utama pertumbuhan aset. Keuntungan dividen atau keuntungan modal yang seharusnya diputar kembali untuk bunga majemuk justru habis terpakai untuk belanja konsumtif demi menuruti ego gaya hidup.

3. Jebakan Status dan Identitas

Pembelian barang berbasis status sering menjadi pemicu awal rantai pengeluaran ini. Memiliki mobil mewah bukan hanya soal membayar cicilan, tetapi juga biaya bensin kualitas tinggi, pajak progresif, hingga tuntutan gaya hidup sosial yang menyesuaikan kendaraan tersebut.

Investor harus berhenti membangun identitas diri melalui kepemilikan barang fisik semata. Kekayaan sejati sejatinya adalah apa yang tidak terlihat oleh mata orang lain. Fokus pada fungsi barang jauh lebih bijak daripada sekadar mengejar gengsi sosial semata.

Uang yang mengendap di rekening dana nasabah atau portofolio saham jauh lebih bernilai. Aset investasi memiliki potensi pertumbuhan nilai di masa depan, berbeda dengan tumpukan barang konsumtif yang nilainya terus turun karena penyusutan harga.

4. Strategi Putus Rantai Boros

Memahami psikologi di balik pengeluaran adalah langkah awal menghentikan kebiasaan boros ini. Strategi efektif yang bisa diterapkan adalah aturan "beli satu, buang satu". Setiap kali membeli barang baru, satu barang lama harus disumbangkan atau dijual.

Metode ini mencegah penumpukan barang di rumah dan memaksa otak berpikir rasional. Pertimbangan matang diperlukan sebelum memutuskan transaksi, apakah barang baru tersebut benar-benar bernilai atau hanya keinginan sesaat. Hal ini efektif mengerem impuls belanja yang tidak perlu.

Masalah keuangan sering kali bukan soal matematika atau kurangnya pendapatan, melainkan isu sosiologis. Kemampuan menahan diri untuk tidak masuk spiral konsumsi adalah kunci sukses finansial. Jubah sutra baru jangan sampai mengendalikan isi dompet pemiliknya.