Utang Indonesia Terus Naik, Ini Rekomendasi OECD untuk Pemerintah
- OECD merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penerimaan negara mulai tahun 2026 agar rasio utang bisa ditekan dalam jangka menengah dan menjaga kesinambungan fiskal.

Muhammad Imam Hatami
Author

JAKARTA - Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan OECD Economic Outlook edisi Juni 2025 memproyeksikan bahwa rasio utang pemerintah Indonesia akan mencapai 40% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir tahun ini.
Proyeksi tersebut memperlihatkan adanya tren kenaikan utang yang perlu menjadi perhatian serius, terutama di tengah pemulihan ekonomi global yang belum sepenuhnya stabil.
Sebagai langkah antisipatif, OECD merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penerimaan negara mulai tahun 2026 agar rasio utang bisa ditekan dalam jangka menengah dan menjaga kesinambungan fiskal.
"Secara bertahap meningkatkan penerimaan negara mulai 2026 akan menempatkan utang publik yang saat ini sekitar 40% dari PDB pada jalur penurunan," tulis OECD dalam laporan resminya, dikutip Selasa, 3 Juni 2025.
- Emiten Bank Masih Suram, LQ45 Ditutup Melemah 1,03 Poin
- Melemah Lagi, IHSG Ditutup di 7.044,82
- Ekonomi Sedang Paceklik, Anggaran Mobil Dinas Pejabat Malah Naik
Utang Pemerintah Capai Rp9.105 Triliun per April 2025
Sementara itu, estimasi posisi utang pemerintah Indonesia per akhir April 2025 diperkirakan telah menyentuh angka Rp 9.105,09 triliun, naik signifikan dibandingkan posisi pada akhir Desember 2024 yang berada di angka Rp 8.801,09 triliun. Artinya, dalam kurun waktu empat bulan pertama tahun ini, pemerintah telah melakukan penarikan utang baru sebesar Rp 304 triliun.
Kendati demikian, hingga berita ini diturunkan, data resmi belum dipublikasikan dalam dokumen APBN Kita edisi Januari–Mei 2025, sehingga angka tersebut masih bersifat estimatif berdasarkan perhitungan trend fiskal dan pergerakan penerbitan surat utang negara.
Kenaikan posisi utang ini menandakan bahwa pembiayaan APBN masih sangat bertumpu pada instrumen utang, seiring dengan belanja negara yang terus meningkat untuk menopang program prioritas nasional.
OECD menyarankan pemerintah Indonesia untuk memperkuat sisi penerimaan, baik melalui optimalisasi pajak, cukai, dan penerimaan bukan pajak (PNBP), maupun reformasi kelembagaan agar lebih efisien dan adaptif terhadap dinamika ekonomi digital.
Langkah ini juga sejalan dengan arahan internal pemerintah yang tengah menyiapkan kerangka kebijakan fiskal jangka menengah 2026–2029 guna mengendalikan defisit dan menciptakan ruang fiskal yang sehat untuk pembangunan berkelanjutan.
Dengan rasio utang yang mendekati batas psikologis 40% dari PDB, Indonesia menghadapi tantangan serius untuk menjaga kredibilitas fiskal dan stabilitas makroekonomi. Pemerintah perlu segera merumuskan strategi konkret untuk memperluas basis penerimaan negara dan menyeimbangkan struktur pembiayaan APBN agar tidak semakin tergantung pada penambahan utang.
- Emiten Bank Masih Suram, LQ45 Ditutup Melemah 1,03 Poin
- Melemah Lagi, IHSG Ditutup di 7.044,82
- Ekonomi Sedang Paceklik, Anggaran Mobil Dinas Pejabat Malah Naik
Rasio Utang yang Sehat
Rasio utang negara yang dianggap sehat oleh Bank Dunia berada di kisaran 40% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Dunia sendiri memproyeksikan bahwa rasio utang pemerintah Indonesia akan mencapai sekitar 40,1% pada tahun 2025, yang masih berada dalam batas wajar dan aman.
Sementara itu, batas aman rasio utang yang umum diterapkan di berbagai negara, termasuk yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, adalah maksimal 60% dari PDB.
Artinya, selama rasio utang Indonesia masih berada di bawah angka tersebut, kondisi fiskal negara masih dinilai terkendali dan dalam zona aman. Namun, pemerintah tetap harus bersikap waspada karena meskipun secara angka masih dalam batas aman, tren peningkatan rasio utang yang terus mendekati ambang batas dapat menjadi sinyal peringatan.
Ketergantungan yang tinggi terhadap pembiayaan utang berisiko menekan ruang fiskal, terutama jika kualitas belanja tidak diarahkan untuk kegiatan produktif yang mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Amirudin Zuhri
Editor