Menggali Potensi Produk Indonesia dan Peluang Pasar Baru di Tengah Sengitnya Perang Tarif
- Jika tidak segera dilakukan langkah diversifikasi pasar, perlambatan ekonomi nasional dapat berlanjut hingga menekan penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan angka kemiskinan.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA - Ketegangan dagang yang digelorakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump membawa dampak nyata bagi ekonomi global, termasuk Indonesia.
Perang tarif yang kembali menguat pada bulan April 2025 telah menekan arus perdagangan dunia, memicu perlambatan ekonomi, serta menciptakan ketidakpastian bagi negara-negara berkembang.
Berdasarkan laporan World Economic Outlook April 2025 dari Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi global dipangkas menjadi 2,8%, dari prediksi sebelumnya 3,3%.
Indonesia sendiri mengalami imbas langsung dari kondisi tersebut. IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 dan 2026 menjadi 4,7%, dari sebelumnya 5,1%.
“Kita lihat pergerakan nilai tukar, pasar saham kita, pergerakan yield SBN kita, itu langsung bergerak sangat cepat dan dinamis," ungkap Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, kala hadir dalam acara Musrenbang RPJMD Tahun 2025-2029 dan RKPD Tahun 2026 Provinsi DKI Jakarta, Rabu, 23 April 2025.
Menanggapi hal ini, Luky menekankan pentingnya peran APBN dan APBD sebagai instrumen penyangga (shock absorber).
- MIND ID Gaet Danantara Garap Proyek Hilirrisasi Senilai Rp241,2 Triliun
- Dividen Rp31,40 Triliun Cair, Saham BBRI Langsung Ngacir
- Mengapa Cincin Kepausan ‘Cincin Nelayan’ Dihancurkan Saat Paus Wafat?
Pangsa Pasar Produk Indonesia
Jika tidak segera dilakukan langkah diversifikasi pasar, perlambatan ekonomi nasional dapat berlanjut hingga menekan penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan angka kemiskinan.
“Kita akan cari jalan keluar. Kita harus berani mencari pasar baru,” ujar Presiden Prabowo kala melakukan wawancara dengan tujuh jurnalis senior di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu, 6 April 2025.
Pada sisi lain, Indonesia juga dihadapkan dengan peluang strategis. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia dalam hal kekuatan diplomasi. Posisi ini seharusnya dimanfaatkan untuk memperluas pasar ekspor ke negara-negara nontradisional, tidak hanya bergantung pada dua kekuatan utama yakni AS dan China.
Menurut data BPS Maret 2025, sepuluh besar negara tujuan ekspor Indonesia masih didominasi oleh negara-negara seperti AS, China, India, Jepang, Malaysia, Singapura, Filipina, dan negara-negara Uni Eropa.
Selain itu, neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus signifikan pada bulan Maret 2025, yakni sebesar us$4,43 miliar. capaian tersebut menandai bulan ke-59 secara berturut-turut Indonesia membukukan surplus perdagangan sejak Mei 2020, mengindikasikan daya tahan sektor ekspor nasional di tengah tekanan ekonomi global.
- MIND ID Gaet Danantara Garap Proyek Hilirrisasi Senilai Rp241,2 Triliun
- Dividen Rp31,40 Triliun Cair, Saham BBRI Langsung Ngacir
- Mengapa Cincin Kepausan ‘Cincin Nelayan’ Dihancurkan Saat Paus Wafat?
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia mencapai US$23,25 miliar, naik 5,95% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 3,16% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Sementara itu, impor tercatat sebesar US$18,92, yang mengalami kenaikan tipis 0,38% (mtm) namun meningkat lebih tajam 5,34% (yoy), mencerminkan aktivitas produksi dan konsumsi dalam negeri yang masih cukup kuat.
Kontributor utama ekspor Indonesia masih didominasi oleh 10 komoditas utama, seperti lemak/minyak hewani dan nabati, bahan bakar mineral, besi dan baja, serta kendaraan dan bagiannya.
Total ekspor dari kelompok ini mencapai US$13,89 miliar atau sekitar Rp233,42 triliun, mencerminkan peran sentral sektor-sektor berbasis sumber daya dan manufaktur dalam mendukung kinerja ekspor.
Dari sisi mitra dagang, Indonesia mencatat surplus tertinggi dengan Amerika Serikat sebesar US$1,98 miliar, disusul oleh India sebesar US$1,04 miliar, dan Filipina sebesar US$714,1 juta.
Sebaliknya, Indonesia mengalami defisit perdagangan terbesar dengan China senilai 1,11 miliar dolar AS, kemudian dengan Australia sebesar 353,2 juta dolar AS, dan Thailand sebesar 195,4 juta dolar AS.
Menurut Prabowo Afrika dan Timur Tengah bisa menjadi solusi pasar baru yang menjanjikan bagi ekspor Indonesia di tengah tekanan ketegangan perdagangan global.
Produk seperti mi instan Indomie telah menjadi contoh sukses ekspansi pasar, di mana kini digemari luas oleh masyarakat di berbagai negara Afrika seperti Nigeria dan Mesir, bahkan hingga ke Turki.
Melihat antusiasme pasar nontradisional ini, Prabowo merintahkan anakbuahnya untuk memperluas strategi perdagangan luar negeri, menjadikan Afrika dan Timur Tengah sebagai target utama ekspansi ekspor.
“Dia di mana-mana di Afrika. Mereka sekarang hobinya makan Indomie, dan mereka kira Indomie itu makanan mereka. Ada di Nigeria, ada di Turki, ada di Mesir. Jadi, kita look for new market,” tambah Prabowo.
Kinerja neraca perdagangan yang terus mencatat surplus menunjukkan bahwa sektor eksternal Indonesia masih relatif kuat, meski tantangan global terus membayangi, seperti ketegangan perdagangan internasional dan fluktuasi harga komoditas.

Amirudin Zuhri
Editor
