Airlangga: MasterCard dan Visa Bebas Beroperasi, QRIS Bukan Hambatan
- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, sebenarnya Indonesia sangat membuka diri untuk adanya operator luar negeri menjalankan sistem pembayarannya termasuk contohnya kartu kredit dengan sistem MasterCard ataupun Visa.

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menyoroti sejumlah layanan keuangan di Indonesia yang dianggap membatasi ruang gerak perusahaan asing, khususnya terkait penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Indonesia sejatinya sangat terbuka terhadap kehadiran operator luar negeri dalam menjalankan sistem pembayaran, termasuk penggunaan kartu kredit dengan sistem MasterCard maupun Visa.
“Mereka (perusahaan asing) terbuka untuk masuk dalam sektor front end maupun berpartisipasi langsung. Jadi sebenarnya ini hanya soal penjelasan agar tidak terjadi kesalahpahaman,” jelas Airlangga dalam konferensi pers terkait perkembangan negosiasi dagang Indonesia-AS pada Jumat, 25 April 2025.
Terkait sektor gateway payment, Airlangga kembali menegaskan bahwa para operator asing diperbolehkan untuk masuk, baik dalam sektor front end maupun melalui partisipasi langsung dalam ekosistem pembayaran.
Dalam kunjungannya ke AS, Airlangga menyampaikan bahwa belum ada pembahasan mendalam mengenai QRIS. Pemerintah Indonesia saat ini fokus pada lima sektor utama dalam proses perundingan dan negosiasi terkait kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat.
Kelima sektor yang dimaksud adalah memenuhi kebutuhan dan menjaga ketahanan energi nasional. Memperjuangkan akses pasar Indonesia ke Amerika Serikat, khususnya melalui kebijakan tarif yang kompetitif bagi produk ekspor Indonesia.
Deregulasi untuk meningkatkan kemudahan berusaha, perdagangan, dan investasi, guna menciptakan lapangan kerja. Peningkatan nilai tambah melalui kerja sama dalam rantai pasok industri strategis dan mineral kritis (critical minerals). Akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang, seperti kesehatan, pertanian, dan energi terbarukan (renewable energy).
- Baca Juga: Tersandera 2 Raksasa: Tantangan Indonesia dalam Pusaran Perang Dagang AS-China
Sebelumnya, menurut catatan TrenAsia.com, pemerintah AS menyoroti kebijakan QRIS dan GPN dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis pada 31 Maret 2025, beberapa hari sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal.
Dalam laporan tersebut, Kantor Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative / USTR) memaparkan berbagai hambatan perdagangan yang ditemukan di 59 negara mitra dagang, termasuk Indonesia.
USTR menilai bahwa Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/18/PADG/2019 mengenai penerapan Standar Nasional QR Code untuk sistem pembayaran menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan-perusahaan asal AS.
“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, menyatakan kekhawatiran selama proses pembuatan kebijakan kode QR oleh Bank Indonesia,” tulis USTR dalam dokumen tersebut.

Ananda Astridianka
Editor
