Dunia

Sejarah Kepausan Katolik (Bagian II): Runtuhnya Kekaisaran Romawi

  • Ketika bayang-bayang kejatuhan mulai menyelimuti Kekaisaran Romawi, Gereja Katolik justru mulai menemukan perannya yang baru. Dari hanya sekadar otoritas spiritual, Kepausan perlahan menjelma menjadi pusat kekuatan yang menggantikan posisi kekaisaran.
Vatikan.
Vatikan. (uniquetoursfactory)

JAKARTA - Artikel ini merupakan bagian kedua dari seri sejarah Kepausan Katolik. Dikutip dari National Geographic dan diolah oleh TrenAsia, Rabu, 25 April 2025, artikel ini membahas bagaimana lembaga kepausan tidak hanya bertahan, tetapi juga menguat di tengah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat. 

Sebelum menyimak kisah peran para Paus saat masa transisi besar ini, sebaiknya Anda membaca Bagian Pertama di sini untuk memahami konteks awal lahirnya institusi kepausan di dunia Kristen awal.

Ketika bayang-bayang kejatuhan mulai menyelimuti Kekaisaran Romawi, Gereja Katolik justru mulai menemukan perannya yang baru. Dari hanya sekadar otoritas spiritual, Kepausan perlahan menjelma menjadi pusat kekuatan yang menggantikan posisi kekaisaran. 

Di tengah runtuhnya institusi-imperium yang telah berdiri selama berabad-abad, para Paus memainkan peran yang krusial, baik sebagai pemimpin rohani, diplomat, maupun penjaga warisan budaya dan moral Barat.

Paus Ambrosius (374–397 M): Penjaga Spiritualitas Kaisar

Paus Ambrosius hadir di masa ketika ancaman dari luar mulai menggerogoti stabilitas Romawi. Di tengah ketegangan militer dan gejolak internal kekaisaran, Ambrosius tidak hanya menjadi gembala umat, tapi juga penjaga keteguhan spiritual para Kaisar. 

Ia dikenal lantang dalam menjaga garis tegas antara wewenang gereja dan kekuasaan politik. Keberaniannya menghadapi Kaisar Theodosius I dalam kasus pembantaian Thessalonika adalah bukti bahwa otoritas moral Gereja mulai menunjukkan pengaruhnya. 

Saat struktur Kekaisaran mulai melemah, Gereja muncul sebagai simbol ketahanan spiritual yang tidak tergoyahkan.

Perampokan Roma oleh Visigoth (410 M): Awal Kejatuhan

Tahun 410 M menjadi titik balik sejarah, kota Roma dijarah oleh suku Visigoth di bawah pimpinan Alaric. Dunia saat itu tercengang. Roma, simbol kekuatan dunia kuno akhirnya tumbang. 

Namun, di tengah kehancuran tersebut, Kepausan tetap berdiri. Saat institusi kekaisaran mulai terpuruk, Paus dan para rohaniwan tetap mempertahankan eksistensinya. 

Ancaman belum berhenti, bangsa Hun di bawah Attila dan bangsa Vandal di bawah Gaiserik mulai menebar ancaman baru bagi kota Roma.

Paus Leo I (440–461 M): Diplomat dan Pelindung Roma

Di sinilah muncul salah satu Paus terbesar dalam sejarah awal Gereja, Paus Leo I, atau lebih dikenal sebagai Leo Agung. Kepemimpinannya selama dua dekade penuh dibentuk oleh tantangan besar, namun ia menjawab semuanya dengan keberanian dan kecerdikan diplomatik. 

Ia secara langsung menemui Attila dan berhasil membujuknya agar tidak menyerang Roma. Taktik serupa ia lakukan pada Gaiserik dari Vandal, yang setidaknya berhasil menahan kerusakan lebih besar di kota suci itu.

Namun, Leo I bukan hanya seorang diplomat ulung. Ia juga pembaru doktrin dan penjaga ortodoksi. Melawan berbagai ajaran sesat yang masih bercampur dengan kepercayaan pagan Romawi, Leo menegaskan posisi Paus sebagai otoritas rohani tertinggi di Barat. 

Ia menyusun fondasi teologis dan institusional yang menjadikan Kepausan sebagai pengganti yang sah atas kekuasaan moral dan sosial Kekaisaran Romawi yang runtuh.

Paus Gregorius I (590–604 M): Misionaris dan Arsitek Kekuasaan Gereja

Beberapa dekade kemudian, Gereja Katolik memasuki fase ekspansi di bawah Paus Gregorius I, yang dikenal sebagai Gregorius Agung. Ia memperluas cakrawala Gereja melampaui reruntuhan Romawi dan mengarahkan pandangannya ke utara dan barat Eropa. 

Di bawah visinya, misionaris mulai dikirim ke wilayah Inggris, Frisia (Belanda), Jerman, dan kerajaan Franka (Perancis).

Langkah ini bukan hanya perluasan spiritual, tetapi juga awal dari transformasi Katolik menjadi kekuatan dominan di Eropa. Dari sinilah muncul akar-akar Kekaisaran Romawi Suci yang akan terbentuk beberapa abad kemudian. 

Dalam banyak hal, Gregorius membentuk wajah baru Gereja, bukan hanya sebagai pelindung iman, tetapi juga sebagai arsitek peradaban pasca-Romawi.

Transisi Kekuasaan: Dari Kekaisaran ke Kepausan

Dengan jatuhnya Roma, banyak yang melihatnya sebagai akhir dunia lama. Namun Gereja Katolik justru melihatnya sebagai awal. Paus, yang dulunya sekadar uskup kota Roma, kini menjadi pemimpin rohani dan simbol kontinuitas di tengah kehancuran dunia klasik. 

Sementara kekaisaran runtuh secara politik dan militer, Gereja tetap berdiri, menawarkan stabilitas, nilai-nilai moral, dan harapan.

Lambat laun, Kepausan mengambil alih fungsi yang sebelumnya dipegang oleh kaisar, sebagai penengah, pemimpin moral, dan penjaga budaya. Dari reruntuhan Roma, lahirlah sistem kekuasaan gereja yang akan mendominasi Eropa selama berabad-abad berikutnya.

Jika Bagian I membahas asal-usul Kepausan di era kekristenan awal, maka Bagian II ini menunjukkan bagaimana Gereja Katolik bangkit di saat dunia lama runtuh. 

Peran para Paus bukan hanya menjaga iman, tetapi juga menyelamatkan peradaban Barat dari kekacauan. Dari sinilah cerita besar Gereja Katolik Eropa bermula.