Dunia

Konflik Agraria IKN: Suku Dayak Gugat Hak Pakai Seabad ke MK

  • Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) pada tanggal 4 Maret 2025. Gugatan ini diajukan Stepanus Febyan Babaro, seorang warga asli suku Dayak, yang menilai Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU IKN mengancam hak masyarakat adat atas tanah leluhur mereka.
shutterstock_2136960019-scaled.jpg
Mahkamah Konstitusi (Amnesty International). (Amnesty International)

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (IKN) pada tanggal 4 Maret 2025. Gugatan ini diajukan Stepanus Febyan Babaro, seorang warga asli suku Dayak, yang menilai Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU IKN mengancam hak masyarakat adat atas tanah leluhur mereka. 

Aturan yang dibuat di era Jokowi tersebut dinilai lebih menguntungkan investor dibandingkan masyarakat lokal, sehingga memicu kekhawatiran akan potensi konflik agraria yang lebih luas dimasa depan.

Stepanus Febyan Babaro, sebagai warga suku Dayak, mengajukan uji materi ke MK terkait Pasal 16A UU 21/2023. Pasal ini mengatur pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai dengan jangka waktu yang sangat panjang.

Aturan tersebut memberikan peluang jangka waktu hingga 80-95 tahun dalam satu siklus, dengan kemungkinan perpanjangan untuk siklus kedua. Bahkan, dalam beberapa kasus, hak atas tanah ini bisa mencapai 100 tahun.

"Dengan memberikan HGU hingga 95 tahun negara berisiko mencederai prinsip ini, karena lahan HGU yang dikuasai dalam jangka waktu yang sangat lama cenderung memberikan keuntungan kepada pemegang secara eksklusif," tulis Stepanus dalam permohonannya kepada majelis Hakim MK, di Jakarta, dikutip Minggu, 9 Maret 2024.

Aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (UU IKN) yang bertujuan menarik investasi besar untuk pembangunan IKN. 

Namun, di balik niat tersebut, tersimpan ancaman serius bagi masyarakat adat, khususnya suku Dayak, yang khawatir akan kehilangan akses dan kontrol atas tanah leluhur mereka.

Ancaman Konflik Agraria dan Ketimpangan Kepemilikan Tanah

Salah satu alasan utama gugatan ini adalah potensi memperburuk konflik agraria yang sudah ada. Pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang terlalu panjang dinilai dapat memicu ketidakadilan dan monopoli kepemilikan tanah. 

Stepanus khawatir, masyarakat adat akan semakin tersingkir dari tanah yang telah mereka kelola secara turun-temurun selama ratusan tahun.

"Mafia agraria yang makin mencamuk membuat Pemohon sangat pesimis perlindungan terhadap tanah-tanah adat masyarakat di Kalimantan, khususnya tanah-tanah masyarakat adat Dayak," tambah Stepanus.

Selain itu, aturan ini dinilai lebih mengutamakan kepentingan investor daripada masyarakat lokal. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang diamanatkan dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara harus mengelola tanah untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk segelintir pihak.

Hak atas tanah yang diberikan dalam jangka waktu panjang berisiko memutus hubungan masyarakat adat dengan tanah leluhur dayak. 

Menurut Stepanus, tanah bukan hanya sekadar aset ekonomi bagi suku Dayak, tetapi juga bagian integral dari identitas, budaya, dan sumber kehidupan mereka. 

Hilangnya akses ke tanah berarti hilangnya sumber daya alam yang selama ini digunakan untuk kerajinan, obat tradisional, dan kebutuhan sehari-hari.

Generasi mendatang dinilai akan kesulitan mengakses dan mengelola tanah tersebut. Hal ini dapat mengancam keberlanjutan budaya lokal dan menghilangkan warisan leluhur yang telah dijaga selama berabad-abad.

"Jangka waktu yang panjang dapat memperburuk ketimpangan akses terhadap tanah, karena pihak tertentu dapat menguasai tanah dalam waktu lama tanpa memberikan peluang kepada masyarakat lain," pungkas Stepanus.

Tuntutan Pemohon

Selain ancaman terhadap masyarakat adat, gugatan ini juga menyoroti ketidakpastian hukum akibat tumpang tindih antara Pasal 16A UU 21/2023 dan Perpres 75/2024. Kedua aturan ini memiliki perbedaan dalam mengatur jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai, sehingga menimbulkan kebingungan dalam implementasinya.

Dalam gugatannya, Stepanus Febyan Babaro meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 16A UU 21/2023 atau setidaknya membatasi jangka waktu hak atas tanah di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. 

Pemohon mengusulkan agar Hak Guna Usaha (HGU) diberikan dengan jangka waktu maksimal 25 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun. 

Sementara itu, Hak Guna Bangunan (HGB) diusulkan memiliki batasan awal 30 tahun dengan perpanjangan hingga 20 tahun. Adapun Hak Pakai, menurut pemohon, sebaiknya dibatasi maksimal 25 tahun dengan opsi perpanjangan selama 25 tahun.

Pembangunan IKN sebagai ibu kota baru Indonesia memang diharapkan menjadi simbol kemajuan dan modernitas. Namun, di balik megahnya proyek ini, tersimpan tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. 

Gugatan yang diajukan oleh Stepanus Febyan Babaro menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak boleh mengabaikan keadilan sosial dan keberlanjutan budaya lokal.

Sidang di MK ini akan menjadi penentu apakah Indonesia mampu menciptakan pembangunan yang inklusif, atau justru mengorbankan masyarakat adat demi kepentingan segelintir pihak. Hasil sidang ini akan memiliki dampak jangka panjang, tidak hanya bagi suku Dayak, tetapi juga bagi masa depan konflik agraria di Indonesia.