Fintech

Ulah Kelompok Gagal Bayar di Fintech Lending Kian Mengkhawatirkan

  • Fenomena kelompok gagal bayar dalam industri fintech lending semakin marak. Beberapa kelompok bahkan secara terang-terangan membagikan cara-cara gagal bayar dengan aman.
Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia (Trenasia.com)

JAKARTA - Fenomena kelompok gagal bayar dalam industri fintech lending semakin marak. Beberapa kelompok bahkan secara terang-terangan membagikan cara-cara gagal bayar dengan aman. 

Hal ini menjadi perhatian serius Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) karena berpotensi mengganggu ekosistem pembiayaan digital di Indonesia.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen (KE PEPK) OJK, Friderica Widyasari Dewi, menegaskan konsumen yang memanfaatkan produk atau layanan keuangan, khususnya kredit dan pembiayaan, memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

"Gagal bayar merupakan salah satu bentuk wanprestasi konsumen yang akhirnya memberikan hak bagi Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk melakukan penagihan, bahkan hingga eksekusi agunan atau jaminan," jelas Friderica melalui jawaban tertulis, dikutip Senin, 24 Februari 2025. 

Regulasi OJK untuk Mengatasi Gagal Bayar

Dalam menanggapi fenomena ini, OJK mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 yang telah mengatur hak dan kewajiban antara PUJK dan konsumen. Regulasi ini kemudian diturunkan dalam POJK 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. 

Regulasi ini mencakup tata cara penagihan dan pengambilalihan agunan bagi konsumen yang mengalami gagal bayar. "Dalam aturan ini, PUJK memiliki hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan nilai atau biaya produk dan layanan yang disepakati. Sementara itu, konsumen berkewajiban untuk melakukan pembayaran sesuai dengan perjanjian," tambah Friderica.

Baca Juga: Pisau Bermata Dua Fintech Lending: Kredit Macet Menggunung, Keuntungan Kian Tambun

Mitigasi Risiko Gagal Bayar Sejak Awal

Selain regulasi, OJK juga mendorong PUJK untuk melakukan analisis kredit yang lebih cermat dalam menilai kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan membayar konsumen. Hal ini menjadi langkah mitigasi risiko agar kejadian gagal bayar dapat diminimalisir sejak awal.

"Pada dasarnya, produk jasa keuangan, khususnya kredit atau pembiayaan, harus dilandaskan pada itikad baik dari kedua belah pihak. PUJK harus menilai konsumen tidak hanya dari kebutuhan, tetapi juga dari kemampuan membayarnya," kata Friderica.

OJK juga terus mengedukasi masyarakat agar bertanggung jawab terhadap pinjaman yang diajukannya. Selain berisiko terkena penagihan, gagal bayar juga berdampak buruk pada catatan kredit konsumen di Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil).

"Jika riwayat kredit seseorang buruk, maka akan sulit baginya untuk mengajukan pinjaman kembali di kemudian hari. Bahkan, beberapa perusahaan kini mensyaratkan hasil informasi debitur sebelum menerima karyawan. Jika catatan kredit buruk, maka bisa menjadi hambatan untuk mendapatkan pekerjaan," jelas Friderica.