Utang Global Membengkak, Negara-negara Ini Kian Terjebak IMF
- Dunia masih bergantung pada IMF, dari Argentina hingga Mesir, pinjaman IMF jadi penyelamat sekaligus ancaman bagi kedaulatan ekonomi negara.

Muhammad Imam Hatami
Author


Sumber: Aseanop.com
(Istimewa)JAKARTA, TRENASIA.ID - Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang berakhir Sabtu lalu kembali menyoroti ketegangan global, mulai dari ancaman perlambatan ekonomi hingga meningkatnya proteksionisme Amerika Serikat.
Di balik diplomasi ekonomi, angka-angka besar di meja perundingan menunjukkan satu hal yang tak berubah: dunia masih sangat bergantung pada IMF.
Didirikan pada 1944 di Konferensi Bretton Woods, IMF lahir dari kebutuhan untuk menstabilkan ekonomi global pasca-Perang Dunia II. Kini lembaga itu memiliki 191 negara anggota, menjadikannya salah satu institusi keuangan paling berpengaruh di dunia.
IMF sering disebut sebagai “lender of last resort”, tempat terakhir bagi negara yang menghadapi krisis neraca pembayaran atau keuangan. Namun, setiap bantuan datang dengan syarat ketat, penghematan anggaran, reformasi fiskal, hingga penyesuaian struktural ekonomi.
Pendanaan IMF berasal dari kontribusi kuota anggota. Besarnya kuota menentukan hak pinjam, kontribusi modal, dan kekuatan suara masing-masing negara. Negara dengan perekonomian besar seperti AS, Jepang, dan Tiongkok memiliki porsi kuota dan suara terbesar.
Hingga 2025, IMF memiliki kapasitas pinjaman total sekitar US$1 triliun. Dana tersebut berasal dari negara-negara kreditor yang menempatkan modalnya di IMF dan menerima bunga.
Pada tahun 2024, 50 negara kreditor menerima bunga kolektif senilai US$5 miliar, bukti bahwa pinjaman IMF juga menjadi instrumen investasi bagi negara kaya.
Baca juga : PM Takaichi Naik, Jepang Bakal Punya Militer Seperti Era PD II Lagi?
Peta Utang Global ke IMF
Total utang negara-negara anggota ke IMF mencapai SDR 118,9 miliar atau sekitar US$162 miliar (per 15 Oktober 2025). Satuan SDR (Special Drawing Rights) setara US$1,36, dihitung dari rata-rata nilai lima mata uang utama dunia: dolar AS (USD), euro (EUR), poundsterling (GBP), renminbi Tiongkok (RMB), dan yen Jepang (JPY).
Dari 86 negara peminjam, 10 negara teratas menyumbang 73% dari total pinjaman, mencerminkan konsentrasi krisis di beberapa wilayah dengan ekonomi rapuh.
Argentina masih menjadi peminjam terbesar IMF sepanjang masa dengan total utang SDR 41,8 miliar (US$57 miliar). Negara Amerika Selatan itu berulang kali mengalami krisis inflasi dan kejatuhan nilai tukar peso.
Pada April 2025, IMF kembali menyetujui paket bailout US$20 miliar untuk menahan gejolak harga dan melindungi cadangan devisa. Sebelumnya, pada 2018, Argentina telah menerima pinjaman US$57 miliar, rekor tertinggi dalam sejarah lembaga tersebut.
Menjelang pemilu 2025, pemerintahan Donald Trump di AS bahkan memberikan dukungan tambahan US$20 miliar dan swap mata uang guna memperkuat stabilitas keuangan Argentina, langkah yang dianggap beraroma politis oleh banyak analis.
Sementara itu perang dengan Rusia sejak Februari 2022 membuat Ukraina harus mengandalkan pinjaman eksternal besar-besaran. Negara itu kini memiliki utang ke IMF sebesar SDR 10,4 miliar (~US$14 miliar).
Total utang luar negeri Ukraina mencapai US$108,4 miliar, setara 70% dari total utang pemerintahnya. Melalui program Extended Fund Facility (EFF) senilai US$15,5 miliar (disetujui Maret 2023), IMF menjadi tulang punggung dukungan global terhadap Ukraina hingga 2027. Hingga Oktober 2025, Kiev telah menerima US$10,6 miliar dari paket tersebut.
Sementara itu Mesir menjadi contoh klasik krisis neraca pembayaran di dunia berkembang. Negara itu kini menanggung utang IMF sebesar SDR 6,9 miliar (~US$9 miliar) akibat defisit fiskal tinggi dan menipisnya cadangan devisa.
Pada 2016, Mesir menandatangani program EFF senilai US$11,9 miliar untuk mendorong reformasi nilai tukar, perpajakan, dan pengurangan subsidi.
Terbaru, Maret 2025, IMF mencairkan US$1,2 miliar dari paket US$8 miliar, dan kebijakan itu berhasil menurunkan inflasi hampir separuh, meski tekanan sosial akibat pemangkasan subsidi masih terasa.
Sementara itu, banyak juga negara dengan rasio utang IMF tertinggi terhadap produk domestik bruto (PDB),menunjukkan tingkat ketergantungan yang cukup besar terhadap lembaga tersebut.
Suriname menempati posisi teratas dengan rasio utang mencapai 13% dari PDB, disusul oleh Republik Afrika Tengah sebesar 9,4%, Argentina 8,3%, Barbados 7,4%, dan Gambia 6,95%.
Meskipun secara nominal porsi utang kepada IMF biasanya hanya merupakan sebagian kecil dari total utang nasional, dampaknya terhadap kebijakan ekonomi tetap signifikan.
Hal ini karena setiap pinjaman dari IMF umumnya disertai persyaratan reformasi ekonomi yang ketat, seperti penghematan anggaran, penyesuaian fiskal, dan restrukturisasi subsidi, yang dapat memengaruhi kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Baca juga : Peringkat Naik ke AAA, Saham BBTN Makin Menyala
Risiko Ketergantungan pada IMF
Global Policy Center, lembaga di bawah PBB yang meneliti isu tata kelola global, ekonomi berkelanjutan, dan kesetaraan sosial memperingatkan bahwa ketergantungan berlebihan pada IMF bisa menimbulkan efek jangka panjang.
“IMF tetap penting untuk stabilitas global, tapi negara berkembang perlu menata ulang model pembiayaan agar tidak selamanya bergantung pada lembaga itu.” jelas lembaga tersebut dikutip keterangan resmi, Kamis, 23 Oktober 2025.
Sejumlah analis dan lembaga riset internasional telah lama memperingatkan risiko ketergantungan terhadap IMF bagi negara-negara berkembang.
Joseph E. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi dan mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, dalam bukunya Globalization and Its Discontents (2002), menilai bahwa kebijakan penghematan yang disyaratkan IMF sering kali justru memperburuk kemiskinan dan melemahkan kedaulatan ekonomi nasional.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam Trade and Development Report edisi 2022 dan 2024, yang menyoroti bahwa program penyesuaian IMF kerap memperdalam ketimpangan sosial serta mengurangi ruang fiskal negara peminjam untuk melindungi masyarakatnya.
Laporan Oxfam International (2023) menemukan bahwa lebih dari separuh program IMF masih mencakup syarat pemangkasan subsidi dan pengurangan belanja publik, yang berdampak langsung pada kesejahteraan kelompok berpendapatan rendah.
Sementara itu, riset dari Global Policy Center, Durham University (2024) menegaskan bahwa ketergantungan jangka panjang terhadap pinjaman IMF dapat menciptakan debt dependency cycle, siklus ketergantungan utang yang menggerus kemandirian kebijakan fiskal negara-negara berkembang.
Negara yang terlalu bergantung pada dukungan IMF berisiko kehilangan fleksibilitas dalam menentukan arah kebijakan fiskal dan sosialnya sendiri.
Akibatnya, keputusan strategis yang seharusnya berorientasi pada kebutuhan domestik sering kali harus menyesuaikan dengan rekomendasi dan kepentingan lembaga keuangan internasional.
Oleh karena itu, banyak ekonom menilai bahwa kerja sama dengan IMF seharusnya bersifat sementara dan terukur, bukan menjadi mekanisme pembiayaan jangka panjang.
Negara peminjam perlu memperkuat kapasitas fiskalnya sendiri melalui reformasi struktural yang inklusif, diversifikasi ekonomi, dan pengelolaan utang yang berkelanjutan agar tidak terus terjebak dalam lingkaran ketergantungan terhadap lembaga internasional tersebut.
Secara keseluruhan, seperti ditegaskan dalam analisis UNCTAD, Oxfam, dan Global Policy Center, pinjaman IMF memang dapat membantu menstabilkan ekonomi jangka pendek, namun tanpa kebijakan nasional yang kuat dan mandiri, manfaatnya bisa berubah menjadi beban jangka panjang bagi pembangunan sosial dan ekonomi suatu negara.
Pertemuan IMF dan Bank Dunia 2025 menegaskan paradoks global: di satu sisi, IMF menjadi penyelamat bagi negara-negara dalam krisis, di sisi lain, ia juga menjadi simbol keterikatan ekonomi dunia pada sistem keuangan yang tak seimbang.

Muhammad Imam Hatami
Editor
