Tren Global

Trump Tetapkan Tarif 19 Persen, Berikut Komoditas Ekspor-Impor Indonesia-AS

  • Surplus dagang Indonesia ke AS tembus US$17,9 miliar! Simak data ekspor-impor dan tarif baru dari pemerintahan Trump.
Kargo
Ilustrasi kargo di pelabuhan (https://unsplash.com/photos/twEtn2JZlX8)

JAKARTA – Hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) menunjukkan performa positif sepanjang 2024 hingga awal 2025. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total nilai perdagangan bilateral antara kedua negara mencapai US$38 miliar (sekitar Rp619,4 triliun) pada tahun 2024. 

Dari jumlah tersebut, Indonesia berhasil mencatatkan surplus dagang sebesar US$17,9 miliar (sekitar Rp291,77 triliun), menjadikannya salah satu mitra dagang utama bagi Negeri Paman Sam. 

Bahkan, pada periode Januari hingga April 2025 saja, surplus perdagangan Indonesia terhadap AS sudah mencapai US$5,44 miliar (sekitar Rp88,67 triliun), menjadikannya yang tertinggi di antara seluruh mitra dagang Indonesia.

Ekspor Indonesia ke AS Didominasi Produk Agrikultur dan Manufaktur Ringan

Tren ekspor Indonesia ke AS terus menunjukkan peningkatan. Pada Desember 2024, nilai ekspor tercatat US$2,46 miliar (sekitar Rp40,1 triliun), naik dari yang sebelumnya US$2,34 miliar (sekitar Rp38,14 triliun) pada bulan November 2024. 

Hingga Mei 2025, ekspor Indonesia ke AS mencapai US$24,61 miliar (sekitar Rp401,14 triliun), meningkat sebesar 9,68 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Produk unggulan yang dikirim ke AS masih didominasi oleh sektor agrikultur dan manufaktur ringan. Komoditas utama meliputi minyak kelapa sawit senilai US$870 juta (sekitar Rp14,18 triliun) yang menjadi penyumbang terbesar sektor agrikultur.

Produk elektronik seperti router dan switch jaringan yang permintaannya terus tumbuh seiring digitalisasi global, serta alas kaki berbahan kulit dan tekstil yang mencatatkan nilai ekspor gabungan sebesar US$524 juta (sekitar Rp8,54 triliun).

Selain itu, karet alam dan ban kendaraan dengan nilai ekspor mencapai US$273 juta (sekitar Rp4,45 triliun) juga menjadi salah satu andalan, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri otomotif AS. 

Produk lemak dan minyak nabati juga mencatat kontribusi signifikan, menyumbang sekitar 14 persen dari total ekspor non-migas Indonesia. Sementara itu, udang beku tetap menjadi komoditas pangan ekspor yang diminati pasar AS karena tingginya konsumsi seafood di sana.

Impor Indonesia dari AS Fokus pada Teknologi dan Energi

Di sisi lain, nilai impor Indonesia dari AS pada Desember 2024 menurun menjadi US$939,1 juta (sekitar Rp15,31 triliun) dari US$978,3 juta (sekitar Rp15,94 triliun) pada bulan sebelumnya. 

Impor Indonesia dari AS sebagian besar terdiri dari produk bernilai tinggi, seperti pesawat dan suku cadang, yang diperkuat oleh kesepakatan pembelian 50 pesawat Boeing senilai US$15 miliar (sekitar Rp244,5 triliun) pada 2025.

Selain itu, mesin industri menjadi komoditas penting dengan nilai US$1,59 miliar (sekitar Rp25,9 triliun), mencakup berbagai komponen seperti pipa besi dan perangkat berat untuk industri.

Indonesia juga mengimpor produk kimia dan farmasi dari AS masing-masing senilai US$576 juta (sekitar Rp9,39 triliun) dan US$113 juta (sekitar Rp1,84 triliun), menunjukkan ketergantungan pada bahan baku industri kimia dan kesehatan.

Dalam sektor energi, terdapat kesepakatan pembelian gas alam cair (LNG) senilai US$15 miliar (sekitar Rp244,5 triliun) yang menjadi bagian dari kerja sama energi jangka panjang. Tidak kalah penting, produk pertanian AS seperti gandum dan kedelai juga masuk dalam daftar impor, dengan nilai mencapai US$4,5 miliar (sekitar Rp73,35 triliun) berdasarkan perjanjian terbaru tahun 2025.

Negosiasi Tarif

Hubungan dagang sempat diwarnai ketegangan pada April 2025 saat pemerintahan Presiden Donald Trump menerapkan tarif impor sebesar 32 persen terhadap sejumlah komoditas dari negara mitra, termasuk Indonesia. 

Kebijakan ini memicu protes keras karena dikhawatirkan akan menggerus daya saing produk ekspor Indonesia di pasar AS. Namun melalui diplomasi intensif, Presiden Prabowo Subianto berhasil menegosiasikan penurunan tarif menjadi 19 persen pada tanggal 16 Juli 2025.

Kesepakatan ini tidak datang tanpa syarat, Indonesia menyepakati pembelian besar-besaran produk dari AS seperti pesawat, energi, dan komoditas pertanian, serta membuka akses pasar domestik tanpa menerapkan tarif balasan terhadap barang impor dari AS.

Meski kesepakatan tarif tersebut memberikan stabilitas jangka pendek, Indonesia tetap menghadapi tantangan serius. Tarif yang lebih tinggi dari sebelumnya dapat meningkatkan biaya logistik dan menekan margin keuntungan produsen dalam negeri.