Tenaga Kerja Tak Terserap Industri, Reformasi Pendidikan Diperlukan
- Industri Indonesia semakin padat teknologi, serapan tenaga kerja rendah. Guru Besar Ilmu Manajemen, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, meminta adanya reformasi pendidikan dan pelatihan kerja untuk atasi skill mismatch.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Guru Besar Ilmu Manajemen, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, mengungkap adanya perubahan profil industri nasional yang kini lebih padat teknologi dibanding padat karya membuat penyerapan tenaga kerja di Indonesia semakin rendah. Pertumbuhan ekonomi sebesar 1% hanya mampu menyerap sekitar 200 ribu tenaga kerja.
Kondisi ini terjadi karena sektor industri modern tidak lagi membutuhkan banyak pekerja manual, sementara komposisi angkatan kerja Indonesia tidak banyak berubah, masih didominasi lulusan SMA dan SMK.
“Industri sekarang lebih banyak padat teknologi daripada padat karya. Inilah yang menjelaskan mengapa 1% pertumbuhan hanya menyerap sekitar 200 ribu tenaga kerja, karena industrinya memang tidak membutuhkan banyak tenaga kerja,” jelas Anton, kepada TrenAsia, Senin, 11 Agustus 2025.
Tingkat partisipasi pendidikan tinggi tercatat hanya 1,6%, jauh di bawah rata-rata negara ASEAN lainnya, dan lulusan SMA/SMK justru menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran.
Kesenjangan keterampilan atau skill mismatch menjadi salah satu faktor utama rendahnya serapan tenaga kerja di sektor industri. Kurikulum pendidikan di SMK dan perguruan tinggi belum selaras dengan kebutuhan industri yang semakin berorientasi pada teknologi dan digital.
Tingkat pengangguran lulusan SMK mencapai 7,1%, tertinggi dibanding jenjang pendidikan lain. Transformasi digital yang disertai otomasi mengurangi kebutuhan tenaga kerja di sektor padat karya, sementara program pelatihan seperti Balai Latihan Kerja (BLK) masih dinilai kurang aplikatif dan belum menyasar kebutuhan nyata dunia industri.
Kondisi ini diperparah oleh tren global yang menunjukkan penurunan tenaga kerja terampil hingga 77% di sektor-sektor strategis seperti kesehatan, energi, dan teknologi informasi.
“Ada perubahan keterampilan yang dibutuhkan industri, yang belum dimiliki angkatan kerja kita. Gap ini lebar. Pemerintah harus menyelesaikan dengan perubahan radikal,” tambah Anton.
Permasalahan Tenaga Kerja
Tekanan impor dan melemahnya permintaan global semakin menekan kinerja industri nasional. Masuknya barang impor murah dan turunnya volume ekspor membuat banyak perusahaan melakukan efisiensi, termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Dalam empat bulan pertama 2025, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang di-PHK mencapai 24.036 orang, mayoritas di sektor tekstil dan manufaktur. Meskipun investasi asing langsung (FDI) mengalami peningkatan, sebagian besar diarahkan pada sektor padat modal dan otomasi, sehingga kontribusinya terhadap penciptaan lapangan kerja semakin kecil.
Diskriminasi usia dalam proses rekrutmen menjadi hambatan bagi pekerja berpengalaman yang berusia di atas 40 tahun untuk kembali terserap di sektor industri setelah terkena PHK.
Batasan usia yang diterapkan banyak perusahaan membuat kelompok usia ini semakin sulit mendapatkan pekerjaan kembali. Pada saat yang sama, mayoritas lapangan kerja baru yang tercipta pada periode 2024–2025 berada di sektor informal seperti pertanian, perdagangan, dan jasa harian. Sektor informal ini cenderung memberikan upah rendah, tidak menyediakan jaminan sosial, dan kurang menjamin keberlanjutan pekerjaan.
Kebijakan hilirisasi tambang seperti yang dilakukan di kawasan industri nikel Morowali memang membuka lapangan kerja, namun belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Di sisi lain, ketidaksiapan industri untuk beradaptasi dengan biaya produksi yang tinggi dan persaingan global memicu PHK massal. Kasus PHK di perusahaan besar seperti Sritex yang memberhentikan 10.000 pekerja dan pabrik sepatu pemasok Nike yang mem-PHK 3.000 pekerja menunjukkan rapuhnya daya tahan industri terhadap tekanan eksternal.
Solusi Radikal
Mengatasi persoalan ini memerlukan reformasi besar-besaran pada sistem pendidikan dan pelatihan kerja. Perubahan radikal pada lembaga pelatihan seperti BLK perlu dilakukan agar kurikulum dan metode pelatihan sesuai dengan kebutuhan industri.
Pendidikan formal harus lebih fleksibel dalam merespons perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja. Dunia usaha saat ini menuntut keterampilan lintas disiplin, terutama di bidang bisnis digital yang memerlukan kombinasi keahlian manajemen, keuangan, pemasaran, pemrograman, dan analitik.
“Pemerintah harus menyelesaikan dengan perubahan radikal pada lembaga-lembaga pelatihan seperti BLK, menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan industri. Pendidikan formal juga harus fleksibel mengikuti perkembangan industri,” pungkas Anton.
Sistem pendidikan tinggi yang masih cenderung monodisiplin belum mampu menyediakan keterampilan tersebut secara cepat karena terbatasnya sumber daya dan regulasi yang kaku. Tanpa pembaruan yang signifikan, kesenjangan keterampilan akan terus melebar dan memperburuk masalah pengangguran di tengah transformasi industri yang semakin cepat.

Muhammad Imam Hatami
Editor
