Sri Mulyani: Ekonomi Global Dihantui Krisis Pangan, Energi dan Utang
- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan mengatakan, dunia berpotensi masih jatuh ke krisis pangan, energi dan utang. Imbas situasi ekonomi yang masih kacau.

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dunia masih berpotensi jatuh ke kondisi krisis pangan, energi, dan utang sebagai imbas situasi ekonomi yang masih kacau.
Akibatnya, inflasi global akan melonjak karena efek domino dari krisis rantai pasok yang masih terhambat akibat pandemi COVID-19 dua tahun ke belakang. Hal ini juga tak lepas dari konflik geopolitik antara Rusia dengan Ukraina yang masih berlangsung.
"Tantangan situasi global akan berpotensi ke area krisis, pangan, energi, dan utang," ujar Sri Mulyani dalam Sarasehan 100 Ekonom pada Rabu 7 September 2022.
- Kalbe Farma (KLBF) dan EFC Dirikan Perusahaan Patungan di Filipina
- Inflasi Turki Tembus di Atas 80 Persen, Tertinggi Sejak 1998
- Hutama Karya Menang Tender Jalan Tol IKN Senilai Rp3,47 Triliun
Sebenarnya, lanjut Sri Mulyani, Indonesia tengah mengelola sebuah risiko baru usai pandemi, dari risiko kesehatan menjadi risiko finansial seperti kenaikan inflasi.
Inflasi yang tinggi akan disusul dengan adanya pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga pada negara maju. Hal ini tentunya bisa saja dapat menyebabkan volatilitas pasar keuangan di tingkat global, pelemahan nilai tukar dan lonjakan biaya utang (cost of fund).
Apalagi akhir-akhir ini ada tren peningkatan suku bunga, dimulai dari Amerika Serikat (AS) yang secara agresif menaikkan suku bunga sejak Maret 2022 dan terus berlanjut hingga tahun depan.
Hantu stagflasi atau pelemahan ekonomi global juga akan membayangi keeekonomian dunia. Namun bendahara negara ini mengatakan, pemerintah tengah mentiapkan antisipasi akan kondisi ini.
Sri Mulyani menyebut, salah satu caranya melalui defisit APBN yang semakin rendah. Pada 2022 diperkirakan akan ada dilevel 3,92% Produk Domestik Bruto (PDB) dan 2023 turun ke 2,85% PDB.
Ia meminta jajarannya untuk menerapkan disiplin fiskal dengan maksimum defisit tak lebih 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Ananda Astri Dianka
Editor
