Kolom & Foto

Ramai-ramai Mengangkangi Hukum

  • Menyusul putusan MK soal larangan anggota Polri merangkap jabatan, Kapolri justru menerbitkan Peraturan Polri yang tetap membolehkan anggotanya merangkap di 17 institusi. Contoh buruk penegakan hukum.
b2c2508d-5bb6-40b1-b50c-d79c46b367db.jpg
Kepolisian membuat barikade untuk mengantisipasi mahasiswa merangsek ke Pendhapi Gedhe Balai Kota Solo, Kamis, 22 Agustus 2024. (Chrisna Chanis Cara/TrenAsia) (Chrisna Chanis Cara/TrenAsia)

Tak perlu belajar hukum hingga jenjang S3 untuk mengetahui hierarki perundang-undangan di Indonesia. Pengetahuan itu bahkan sudah diperkenalkan sekilas sejak tingkat sekolah dasar, lantas diperdalam di semester 1 bagi mereka yang melanjutkan pendidikan di fakultas hukum.

Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis  dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut : 1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Ketetapan MPR; 3) Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu); 4) Peraturan Presiden; 5) Peraturan Menteri; 6) Peraturan Daerah Provinsi;  dan 7)  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Sebagaimana diketahui, Kamis 13 November 2025, Mahkamah Kontitusi (MK) melalui putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 melarang polisi aktif menduduki jabatan di luar kepolisian. MK pun menegaskan anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Toh Polri bergeming. Pada 9 Desember 2025, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo malah menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur pelaksanaan tugas anggota kepolisian di luar struktur organisasi Polri. Terdapat 17 kementerian atau lembaga yang disebut dapat diisi oleh anggota polisi aktif.

Dalam peraturan itu disebutkan bahwa anggota Polri dapat ditugaskan di jabatan di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk jabatan di dalam negeri, terdapat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota kepolisian. Mereka dapat mengisi baik jabatan manajerial maupun jabatan nonmanajerial.

Sontak Peraturan Polri (Perpol) itu memicu kontroversi. Mantan Ketua MK, Mahfud MD menilai bahwa regulasi Polri bisa berada di jabatan sipil yang tertuang dalam Perpol No.10/2025  melanggar atau melawan UU.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menilai  bahwa peraturan tentang Polri yang bisa melakukan tugas di luar struktur Polri sudah bertentangan dengan dua UU, yaitu, UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang ASN.

UU Nomor 2 tahun 2002 dalam pasal 28 ayat 3 menyebutkan Anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri.  Ketentuan itu telah dikuatkan melalui putusan MK nomor 114 tahun 2025.

Kedua, menurutnya, Perpol terbaru yang dirilis 2025 itu juga bertentangan dengan UU nomor 20 tahun 2003 tentang ASN bahwa jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan Polri.

Menurutnya, UU TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang dapat diduduki TNI. Namun, katanya, dalam UU Polri tidak menyebutkan jabatan-jabatan yang boleh diduduki Polri. "Dengan demikian, Perpol kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam UU. Tidak bisa hanya dengan sebuah Perpol jabatan sipil itu diatur," ucapnya dilansir akun YouTube @MahfudMD.

Gayung pun bersambut. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN/RB)Rini Widyantini menegaskan pihaknya menghormati dan menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait polisi aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.

"Kita harus menghormati putusan MK, karena putusan MK itu adalah suatu keputusan yang selesai, langsung mengikat, sudah langsung final," ujar Rini di Kantor Kementerian PAN/RB, Jakarta, Selasa, 16 Desember 2025.

Selesai? Seperti kata sebuah peribahasa, anjing menggonggong kafilah berlalu. Kapolri Jenderal Listyo Sigit tak ambil pusing dengan kritik dari Mahfud MD.  "Biar saja [Mahfud] bicara begitu..."
ujarnya saat ditanya wartawan soal anggapan Polri "mengangkangi" putusan MK, di Istana Presiden, Selasa 16 Desember 2025.

Ia mengklaim bahwa aturan baru tersebut sudah melalui proses konsultasi panjang dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait, sehingga menurutnya sudah sesuai prosedur.

Kapolri juga besikukuh pihaknya tidak menabrak aturan MK. Menurut logikanya, putusan MK hanya menghapus frasa "penugasan Kapolri", tapi frasa "tugas-tugas kepolisian" masih ada. Dengan Perpol ini, ia merasa justru sedang memperjelas (membatasi) jabatan mana saja yang boleh diduduki polisi secara limitatif. "Itu harus diperjelas limitatifnya seperti apa," ujarnya. "Jadi, apa yang dilanggar?"

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (2010-2014) Djohermansyah Djohan menyayangkan sikap Polri. Dalam kolomnya berjudul Polisi di Jabatan Sipil Melukai Birokrasi, yang dimuat di Kompas.com, ia menyebutkan penempatan anggota Polri di jabatan sipil melukai sistem merit yang selama bertahun-tahun dibangun dengan susah payah dalam birokrasi Indonesia.

Selanjutnya ia mengungkapkan, ASN meniti karier melalui pendidikan, pelatihan, evaluasi kinerja, dan seleksi terbuka. Ketika posisi puncak justru diisi oleh figur dari luar sistem ASN, pesan yang diterima oleh birokrasi sangat jelas: kompetensi dan loyalitas profesional tak lagi menjadi faktor utama. Akibatnya, “demotivasi ASN tidak terelakkan,” tulisnya.

Sebelum Peraturan Polri, ada Gugatan Terhadap UU TNI

Sebelum kemunculan Perpol, UU TNI juga mengandung permasalahan serupa. Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI berbunyi: Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/ atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.

Menurut Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi, penggugat yang mengajukan perkara ini ke MK tanggal 21 November 2025, mereka menguji pasal tersebut karena menimbulkan kewenangan yang luas kepada prajurit TNI untuk menjabat di lembaga sipil. Pemohon mengatakan pasal itu menimbulkan ketidakadilan. “Ini tidak bisa ditoleransi dalam kerangka negara hukum yang demokratis,” ujar mereka.

Syamsul juga mengutip Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 yang secara tegas menyatakan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun. "Padahal, Pasal 5 Ayat 5 TAP MPR Nomor 7 MPR 2000 telah menegaskan, anggota Tentara Nasional Indonesia hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan," ucapnya.

Syamsul menilai, perlu pengujian normatif dan sistemik terhadap lembaga-lembaga yang tersebut. Gugatan bernomor 197/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh beberapa lembaga dan koalisi masyarakat sipil, yaitu Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta. 

Lalu, tiga orang warga sipil juga ikut mengajukan gugatan. Mereka adalah Ikhsan Yosarie, Mochamad Adli Wafi, dan Muhammad Kevin Setio Haryanto.

Larangan Rangkap Jabatan bagi Menteri juga Berlaku bagi Wakil Menteri

Bicara larangan rangkap jabatan, sejatinya MK sudah memiliki putusan tentang perangkapan jabatan bagi pejabat negara, khususnya bagi menteri. Dan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 larangan itu berlaku pula bagi wakil menteri. Nyatanya hingga kini pemerintah tak ambil pusing dengan putusan tersebut. Tercatat ada 34 wakil menteri yang merangkap jabatan sebagi komisaris BUMN.

Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah menegaskan seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri juga berlaku bagi wakil menteri. Menurutnya, pertimbangan hukum dalam putusan MK bersifat final, mengikat, dan tidak bisa dipisahkan dari amar putusan.

Ucapan Enny bak tertiup angin. Mungkin tak enak jika terus menyodorkan wakil menteri ke kursi komisaris BUMN, Senin, 15 Desember lalu, pemerintah mengajukan Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febio Nathan Kacaribu sebagai Komisaris Bank BNI. Seperti halnya Perpol, ini tentu saja juga melanggar UU ASN. 

Sekadar mengingatkan, saat ini MK tengah menyidangkan perkara  Nomor 156/PUU-XXIII/2025 yang  diajukan oleh Christianto (Pemohon I), Beckham Jufian Podung (Pemohon II), Christfael Noverio Sulung (Pemohon III), Muhammad Gufron Rum (Pemohon IV), Siska (Pemohon V), dan Dwi Perdita Sari (Pemohon VI). Para Pemohon mengujikan ketentuan Pasal 27B UU BUMN ke MK.

Mereka mempersoalkan fenomena rangkap jabatan komisaris BUMN. Menurut para Pemohon, ketentuan pasal tersebut bersifat diskriminatif dan mengandung unsur disparitas.

Gugatan tersebut semestinya tak perlu ada jika pemerintah taat hukum. Bukankah putusan larangan terhadap menteri, dan anggota Polri merangkap jabatan, sudah jelas dan bersifat mengikat.

Nah, selama para pemimpin negeri ini masih seenaknya mengangkangi perundang-undangan, jangan harap rakyat mau mematuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap hukum, Presiden harus bersikap tegas terhadap seluruh pembantunya.