Purbaya Emoh Kompromi, Bakul Thrifting Ancang-ancang Pindah Haluan
- Ancaman blacklist permanen dan denda Menkeu Purbaya kepada importir ilegal menekan ribuan pedagang thrifting kecil. Pedagang menolak kebijakan tersebut, tapi juga ancang-ancang mencari ladang bisnis baru.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Kebijakan tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memberikan sanksi blacklist permanen dan denda besar kepada importir pakaian bekas ilegal telah menciptakan gelombang kepanikan di kalangan pedagang thrifting.
Ancaman ini bukan hanya ditujukan pada importir besar, tetapi dampaknya terasa langsung oleh ribuan pengecer dan pelaku UMKM yang selama ini menggantungkan hidupnya pada pasokan ballpress impor ilegal.
Thrifting dilarang karena sebagian besar pedagang melakukan impor pakaian bekas ilegal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 tahun 2022, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan, serta Nomor 18 tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Produk ilegal ini dikategorikan sebagai limbah mode dan dilarang untuk diimpor karena terkait dengan aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, serta lingkungan. Menurut Direktorat Jenderal Pajak, impor pakaian bekas ilegal ini akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Selain itu, dikenakan denda paling sedikit sebesar Rp50 juta dan paling banyak Rp5 miliar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan.
Sejak instruksi keras Purbaya dikeluarkan, disertai intensifnya penindakan Bea Cukai, pasokan pakaian bekas impor dilaporkan mulai menipis dan harganya meroket. Para pedagang kini berada di persimpangan antara memilih gulung tikar, atau melakukan transformasi bisnis secara drastis.
Persimpangan Dilema Para Pedagang
Berdasarkan wawancara TrenAsia.id kepada pelaku usaha thrifting atau penjual baju bekas impor di Pasar Loak Kebayoran lama, kebijakan Purbaya menjadi perdebatan sampai sekarang.
Salah satu pedagang thrifting yakni Wawan menilai thrifting selama ini menjadi alternatif bagi kalangan menengah ke bawah untuk berpenampilan keren. "Hanya ini yang bisa dijangkau sama orang menengah ke bawah. Mana ada sekarang orang mau beli baju di mall dengan harga ratusan sampe jutaan,” ujar Wawan belum lama ini.
Produk lokal, imbuhnya, dianggap belum mampu menyaingi produk luar yang sampai saat ini banyak diincar oleh masyarakat Indonesia. Alhasil, thrifting dianggap salah satu cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat, agar tetap terlihat trendy dan eye catching.
Pedagang lain di Kebayoran, Sutisna, menilai kualitas dan harga produk lokal perlu bersaing sehingga warga bisa beralih ke ciptaan dalam negeri. Sebab permintaan masyarakat selalu berkembang setiap waktu. "Bisa aja pakai produk dalam negeri, tapi perbaiki kualitasnya, baru harganya, masuk enggak?” ungkap Sutisna.

Dia justru menuding pakaian impor dari China yang merusak industri tekstil dalam negeri. “Barang thrift yang dipersalahkan,” keluhnya. Meski demikian, dia tak menampik barang thrift yang masuk lewat jalur ilegal adalah kesalahan.
Sementara itu, pedagang lain, Raicha, mengaku mulai berancang-ancang memulai bisnis baru usai kebijakan Purbaya soal pakaian bekas. “Solusinya mulai bisnis dengan baju baru,” ungkapnya. Dia mengaku mendukung kebijakan ini apabila pemerintah memberikan alternatif lain yang dapat dijadikan sebagai ladang bisnis bagi mereka.
Di situasi ekonomi seperti ini, pedagang meminta pemerintah mampu memberikan solusi terbaik bagi pelaku usaha thrifting maupun pelaku UMKM lokal. Saat ini sudah banyak alternatif thrifting impor yang terjadi di lingkup masyarakat.
Kegiatan ini seringkali disebut sebagai preloved ataupun sistem barter yang dilakukan dalam satu event tertentu. Namun, kegiatan ini masih jarang dilirik karena sebagian masyarakat sudah merasa cocok dan nyaman melakukan thrifting, sesuai dengan fashion style sendiri.
Baca juga: Intip Jurus Purbaya Takis Impor Ilegal Baju Thrifting
Kebijakan Menkeu Purbaya ini menegaskan prioritas pemerintah untuk melindungi industri tekstil lokal dan menjamin integritas perdagangan. Bagi pedagang, ini adalah ujian adaptasi. Mereka yang mampu mengubah ketergantungan pada pasokan ilegal impor menjadi kreativitas berbasis produk lokal akan bertahan.
Meski demikian, nasib ribuan pedagang kecil ini bergantung pada seberapa cepat dan efektif program bantuan transisi dari pemerintah dapat menjangkau mereka. Ancaman blacklist ini mungkin akan sukses setelah menekan importir nakal di hulu. Namun, tantangan sesungguhnya adalah memastikan roda ekonomi di tingkat pedagang kecil tetap berputar dengan legal dan berkelanjutan.

Chrisna Chanis Cara
Editor
