Tren Global

Peta Sawit Asia Tenggara, Kuasai Minyak Sawit Dunia, Hadapi Tantangan Lingkungan

  •  JAKARTA — Asia Tenggara terus memainkan peran dominan dalam industri minyak kelapa sawit global, dengan Indonesia dan Malaysia mempertahankan posisi seba
kate-dmkCjdBoquU-unsplash.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Asia Tenggara terus memainkan peran dominan dalam industri minyak kelapa sawit global. Indonesia dan Malaysia mempertahankan posisi sebagai produsen terbesar dunia. 

Namun di tengah tingginya kontribusi terhadap ketahanan pangan global, sektor ini menghadapi tekanan serius terkait deforestasi, kebakaran, penurunan kualitas air, dan degradasi tanah. 

Dikutip dari data embaga penyaji laporan analitik, EOS Data Analytics (EOSDA), Kamis, 4 November 2025, sejumlah tren penting kini mulai mengubah arah produksi dan strategi keberlanjutan di kawasan.

Indonesia dan Malaysia menghasilkan sekitar 85% pasokan minyak sawit global, menjadikan keduanya pemain kunci dalam pasar pangan dan energi dunia.

 Thailand berada di posisi ketiga, namun kontribusinya belum cukup memengaruhi harga global meski permintaan domestik meningkat seiring membaiknya industri pariwisata.

Baca juga : Ide Patungan Beli Hutan, Cermin Krisis Kepercayaan Atas Pengelolaan Alam

Indonesia tetap menjadi produsen terbesar dengan output tahunan lebih dari 50 juta ton. Sentra produksi utamanya berada di Sumatra dan Kalimantan, wilayah dengan iklim tropis yang sangat mendukung pertumbuhan kelapa sawit. Pertumbuhan ini didorong kombinasi kebijakan pro-pertanian, ketersediaan lahan luas, dan kuatnya aliran investasi asing.

Malaysia, dengan produksi sekitar 20 juta ton per tahun, mengandalkan kebijakan pemerintah, peralihan dari industri karet, serta kondisi agroklimat yang stabil. Perkebunan sawit Malaysia terutama terpusat di Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak.

Thailand juga mencatat angka produksi sekitar 18-20 juta metrik ton, ditopang insentif pemerintah untuk petani kecil. Namun sebagian wilayahnya menghadapi kendala kesesuaian lahan dan risiko lingkungan yang lebih tinggi.

Tekanan Lingkungan 

Deforestasi dan Emisi Karbon

EOSDA menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan sawit memicu hilangnya tutupan hutan di ketiga negara. Di Indonesia, sawit disebut sebagai penyebab utama deforestasi, yang menghasilkan lonjakan emisi gas rumah kaca. Perkebunan sawit hanya mampu menyerap sekitar 20% karbon dibandingkan hutan hujan tropis.

Sebagian besar perkebunan baru juga dibuka di lahan gambut, yang jika dikeringkan, mempercepat pelepasan karbon dalam jumlah besar.

Kebakaran Hutan dan Degradasi Tanah

Sektor sawit berkontribusi langsung dan tidak langsung pada sekitar 20% kejadian kebakaran hutan di Asia Tenggara. Kebakaran di kawasan gambut sangat sulit dipadamkan dan menghasilkan asap lintas batas.

Di Malaysia, konversi hutan menjadi perkebunan sawit tercatat menurunkan 42% cadangan karbon tanah dalam 29 tahun, sementara erosi tanah di lahan miring mencapai 7.000-12.500 pon per acre per tahun.

Pencemaran Air

Untuk setiap satu ton minyak sawit, pabrik menghasilkan sekitar 2,75 ton limbah cair (POME). Limbah ini seringkali mencemari sungai dan menurunkan kualitas air karena fasilitas pengolahan limbah yang masih terbatas.

Baca juga : Muncul Gerakan Moral dan Politik Tolak Bantuan dari Perusak Lingkungan

Standar Keberlanjutan Menguat di Tiga Negara

Indonesia dan Malaysia telah menerapkan skema sertifikasi wajib untuk memastikan praktik produksi yang lebih bertanggung jawab: ISPO (Indonesia) dan MSPO (Malaysia). Keduanya mencakup standar hukum, ekologis, dan sosial.

Produsen besar di kawasan juga berkomitmen pada standar NDPE (No Deforestation, No Peat, No Exploitation) yang pada 2020 mencakup sekitar 75% total produksi sawit Indonesia-Malaysia. Thailand mulai mengejar ketertinggalannya melalui pembentukan Aliansi Sawit Berkelanjutan Thailand pada 2022.

Menurut pemodelan dan pemantauan berbasis satelit EOSDA, teknologi agrikultur presisi kini menjadi tonggak baru bagi keberlanjutan sawit. Sejumlah alat seperti NDMI untuk mendeteksi stres air, SOC Mapping untuk memantau cadangan karbon, hingga Disease Risk Model untuk memprediksi risiko penyakit tanaman, membantu produsen meningkatkan hasil tanpa membuka hutan baru.

Meski menghadapi kritik lingkungan, kelapa sawit tetap menjadi minyak nabati paling efisien di dunia. Tanaman alternatif seperti kedelai, bunga matahari, atau rapeseed memerlukan hingga 10 kali lebih banyak lahan untuk menghasilkan minyak dalam jumlah yang sama.

Karena itu, keberlanjutan industri sawit bukan hanya soal ekonomi kawasan, tetapi juga terkait langsung dengan ketahanan pangan global, terutama bagi negara berkembang.