Menapak Trotoar di Solo, Antara Pejalan Kaki dan Kedai Kopi
- Pusat studi mobilitas, Transportologi, menilai akar utama “perebutan ruang” antara pejalan kaki dan pelaku usaha adalah ketiadaan pembagian ruang yang tegas dalam pengelolaan trotoar.

Chrisna Chanis Cara
Author


SOLO, TRENASIA.ID—Dinamika soal pemanfaatan city walk atau trotoar belakangan kembali mengemuka di publik Kota Solo. Hal ini menyusul ramainya kedai kopi yang memanfaatkan ruas trotoar untuk tempat duduk atau nongkrong. Trotoar pun beralih fungsi sebagai lahan parkir yang tak jarang mengambil hak pejalan kaki.
Pantauan TrenAsia, jalur utama di Solo seperti Jalan Slamet Riyadi, Jalan Gatot Subroto, Jalan Teuku Umur hingga Jalan Perintis Kemerdekaan mulai dipadati usaha kuliner yang menggunakan trotoar sebagai tempat nongkrong.
Trotoar biasanya bakal semakin ramai ketika malam hari. Di sejumlah ruas di Jalan Teuku Umar dan Jalan Perintis Kemerdekaan, pedestrian bahkan harus melalui jalur cepat lantaran sempitnya jalur pejalan kaki.
Seorang warga Solo, Gilang, 28, mengaku kesal dengan maraknya alih fungsi trotoar menjadi lahan parkir maupun tempat duduk kedai kopi. Menurutnya, pengelola usaha cenderung hanya memikirkan keuntungan tanpa melihat dampak ke masyarakat umum.
“Cukup banyak kafe di city walk Jalan Slamet Riyadi yang pakai trotoar untuk duduk dan parkir, bahkan kadang menutup jalur kuning (penunjuk jalan untuk difabel netra). Mestinya coffee shop menghitung lahan parkirnya, tidak asal nyari cuan saja,” ujarnya kepada TrenAsia, Jumat, 17 Oktober 2025.
Warga Solo lain, Reza Wiarta, 37, menilai trotoar di sejumlah jalan utama di Solo saat ini sudah mulai semrawut. Dia mengingatkan trotoar atau city walk adalah fasilitas umum yang dibiayai dengan uang rakyat.
“Jangan sampai sudah dibangun layak malah hanya untuk parkir, apalagi kalau malam tambah buat nongkrong. Fungsi trotoar jadi enggak maksimal, belum lagi kebisingan, asap rokok sampai tumpahan makanan dari aktivitas kuliner."

Di sisi lain, Nova Endrawati, 35, berpendapat aktivitas ekonomi di kawasan seperti city walk Jalan Slamet Riyadi cukup ditata, bukan dilarang. Menurut Nova, Pemkot perlu menyusun aturan supaya geliat kuliner di city walk tidak mengorbankan pejalan kaki. “Kan sebenarnya tinggal ditata agar dua-duanya bisa berdampingan,” ujarnya.
Dia mengingatkan dulu Pemkot sempat kesulitan menghidupkan usaha atau pertokoan di city walk Jalan Slamet Riyadi sisi selatan, yang kini banyak dipakai coffee shop. “Sekarang aktivitas ekonomi itu sudah tumbuh secara alami, tinggal bagaimana mengelolanya saja.”
Nova mendorong pengelola usaha ikut proaktif mengajak pengunjungnya memanfaatkan transportasi umum seperti Batik Solo Trans (BST), berjalan kaki atau bersepeda. “Kasih diskon pengunjung yang naik bus atau sepeda. Itu bisa jadi cara mengurangi beban parkir dan lebih ramah lingkungan,” kata dia.
Pusat studi mobilitas, Transportologi, menilai akar utama “perebutan ruang” antara pejalan kaki dan pelaku usaha adalah ketiadaan pembagian ruang yang tegas dalam pengelolaan trotoar.
Founder Transportologi, Sukma Larastiti, menyebut pemanfaatan muka bangunan untuk menaruh meja dan kursi kafe atau restoran merupakan praktik wajar dalam pengelolaan trotoar.
“Kondisi ini justru meningkatkan kenyamanan, semarak kehidupan sosial, dan daya tarik jalan untuk dikunjungi. Selain itu bisa meningkatkan persepsi keselamatan dan keamanan pejalan kaki, khususnya perempuan,” ujar Lala, sapaan akrabnya.
Dia menerangkan, secara prinsip pengelolaan trotoar terbagi ke dalam beberapa zona yakni zona muka bangunan (zona 1), zona berjalan kaki (zona 2), zona perlengkapan jalan (zona 3), dan zona penyangga (zona 4).

Zona muka bangunan berfungsi menyediakan ruang untuk bukaan pintu sekaligus perluasan area aktivitas yang tersedia. Bagian ini umumnya digunakan untuk menempatkan etalase toko, meja, serta kursi kafe atau restoran.
Selanjutnya, zona pejalan kaki harus bebas dari seluruh kegiatan ekonomi dan perlengkapan jalan. Kemudian, zona perlengkapan jalan mencakup pepohonan, kursi taman, dan fasilitas lainnya. Terakhir, zona penyangga diperuntukkan sebagai kereb, area drainase atau digabungkan dengan jalur sepeda.
“Di city walk, pembagian zona ini tidak ada. Penataan trotoar city walk justru berfokus pada penyediaan parkir kendaraan bermotor di trotoar, tanpa mempertimbangkan perubahan aktivitas sosial dan ekonomi yang akan terjadi di kemudian hari,” ujar Lala.
Pihaknya mengatakan trotoar sejatinya tidak diperuntukkan bagi lalu lintas dan tempat parkir kendaraan bermotor. Konsekuensinya, timbul persaingan memperebutkan area trotoar yang memang memiliki lebar terbatas.
Persoalan lain ialah pemasangan jalur untuk difabel netra di sekitar zona muka bangunan (sekitar 1,5 meter dari dinding bangunan), bukan di zona berjalan kaki. Kondisi ini menimbulkan tumpang tindih klaim antara penggunaan ruang berjalan kaki dengan aktivitas sosial-ekonomi yang muncul di muka bangunan.
Baca Juga: PKL Disebut Bisa Dianggap Korupsi karena Gunakan Trotoar: Dampak dari Minimnya Pekerjaan Formal
Lala mendorong Pemkot mengkaji ulang pengelolaan city walk dan penggunaan parkir di trotoar. Selain itu, diperlukan penyusunan pedoman pengelolaan trotoar yang inklusif, berkeselamatan, aman, dan berkeadilan untuk semua penggunanya.
“Berikutnya perlu menyusun strategi optimalisasi penggunaan angkutan umum dan mobilitas aktif di kawasan Jalan Slamet Riyadi untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan menata parkir di sepanjang koridor tersebut,” ujarnya.
Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Solo mengakui area city walk saat ini terkesan semrawut dan kurang sesuai dengan fungsi awalnya sebagai ruang pejalan kaki dan pesepeda. “Semua aspirasi kami catat dan evaluasi lebih lanjut, agar ke depan city walk bisa kembali tertata sesuai peruntukannya," jelas Dishub dalam pernyataan di laman Unit Layanan Aduan Surakarta (Ulas).

Chrisna Chanis Cara
Editor
