Pasar Modal

Mau Genjot Investasi Reksa Dana di 2022? Simak Tips dari Bank Commonwealth

  • Bank Commonwealth melihat peluang investasi, terutama di instrumen reksa dana pada tahun 2022 masih terbuka lebar, meski COVID-19 varian omicron membayangi.
Commonwealth Bank.jpg
Commonwealth Bank / Commbank.co.id (Commbank.co.id)

JAKARTA -Bank Commonwealth melihat peluang investasi, terutama di instrumen reksa dana pada tahun 2022 masih terbuka lebar, meski COVID-19 varian omicron membayangi. 

Head of Investment & Liabilities Bank Commonwealth, Ivan Kusuma menyatakan ada dua hal yang patut diwaspadai dalam berinvestasi di kuartal I-2022 adalah penyebaran Covid-19 varian Omicron yang dapat menyebabkan pengetatan yang lebih jauh dan rencana pengetatan kebijakan moneter AS yang lebih agresif dari yang diperkirakan pasar. 

Namun demikian Bank Commonwealth masih merekomendasikan untuk overweight di reksa dana saham karena berlanjutnya pemulihan ekonomi baik global maupun domestik meskipun adanya varian baru Omicron. 

“Potensi hadirnya lebih banyak lagi emiten sektor teknologi di bursa saham Indonesia pada tahun ini juga akan memberikan sentimen positif serta adanya potensi meningkatnya bobot Indonesia di dalam indeks acuan global. Hal tersebut dapat memicu aliran dana asing yang lebih deras,” kata Ivan di sela acara BizInsight oleh Bank Commonwealth, Selasa, 25 Januari 2022.

Ditambahkan, strategi investasi yang bisa dilakukan investor untuk kuartal I-2022 adalah menambah porsi reksa dana saham di dalam portofolio di mana untuk investor dengan profil risiko balanced adalah 30% di reksa dana pasar uang, 35% reksa dana pendapatan tetap, 35% reksa dana saham. 

Adapun untuk investor dengan profil risiko growth adalah adalah 15% di reksa dana pasar uang, 20% reksa dana pendapatan tetap, dan 65% reksa dana saham. 

Salah satu pilihan reksa dana saham yang menarik untuk dikoleksi adalah Reksa Dana Batavia Disruptive Equity. Produk yang baru diluncurkan pada bulan Desember 2021 ini berinvestasi pada saham-saham disruptive yang memiliki potensi pertumbuhan di atas rata – rata industri.

Hal ini lantaran saham disruptor tumbuh berkembang bersama new economy dan semakin banyak digunakan oleh masyarakat luas serta menjangkau untapped market. Perusahaan yang termasuk dalam kategori disruptor terdiri dari berbagai sektor antara lain telekomunikasi, keuangan, teknologi, material, Kesehatan dan lain – lain. 

“Berinvestasilah sesuai dengan profil risiko. Tujuan dari investasi melalui teknologi digital sendiri agar tetap aman,” tambah Ivan.

Investasi melalui teknologi digital ini juga turut mendongkrak pertumbuhan investor baru khususnya generasi yang usianya di bawah 30 tahun. Bank Commonwealth sejak 2019 lalu telah fokus mengembangkan aplikasi Wealth Management, CommBank SmartWealth. 

Dengan aplikasi CommBank SmartWealth, nasabah dapat melakukan pengelolaan kekayaan yang lengkap dilengkapi dengan fitur digital advisory dimana nasabah dapat melihat portofolio investasinya secara lengkap setiap saat. Dengan dilengkapi fitur transaksi untuk pembelian reksa dana dan obligasi retail, nasabah dapat secara nyaman bertransaksi kapan pun dan di mana pun.

Director PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen Eri Kusnadi menambahkan,  saat ini investor masih wait and see akibat tingginya inflasi di Amerika Serikat (AS). Tingginya inflasi di AS membuat bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), berubah pandangannya menjadi lebih hawkish dengan mempercepat pengurangan program pembelian obligasinya dan diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan lebih banyak pada tahun ini.

Meski demikian, dalam menghadapi normalisasi kebijakan the Fed, kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik jika dibandingkan apa yang pernah terjadi pada tahun 2013 ketika the Fed juga melakukan pengetatan kebijakan moneter. 

Neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2021 lalu selalu mencatatkan surplus sepanjang tahun, berbeda dengan tahun 2013 ketika Indonesia mencatatkan defisit perdagangan. Hal yang sama juga terjadi pada neraca transaksi berjalan Indonesia yang pada kuartal ketiga tahun lalu berhasil mencetak surplus. Selain itu cadangan devisa Indonesia juga sudah jauh lebih besar, per Desember 2021 tercatat di kisaran US$144,9 miliar atau Rp2.079,3 triliun (kurs Rp14.350 per dolar AS). 

“Dengan bekal fundamental yang cukup pada saat ini, kondisi ekonomi Indonesia diharapkan dapat jauh lebih stabil dalam menghadapi pengetatan kebijakan moneter AS ketimbang tahun 2013 lalu,” kata Eri. 

Sementara itu, setelah berhasil membukukan kinerja positif pada tahun 2021, IHSG mengalami tekanan pada awal bulan pertama tahun baru ini. Melonjaknya imbal hasil obligasi AS akibat perubahan pandangan the Fed terhadap inflasi yang diikuti rencana pengetatatan moneter yang lebih agresif membuat volatilitas pasar saham baik global maupun domestik meningkat. 

Namun, kondisi ini tidak memicu investor asing keluar dari pasar saham Indonesia. Hingga 19 Januari 2022, investor asing mencatatkan aksi beli bersih sekitar Rp6,9 triliun. Hal ini menandakan bahwa pasar saham emerging market masih memberikan valuasi yang cukup atraktif jika dibandingkan dengan pasar saham negara maju.