Nasional

Karut-marut Tukin Dosen ASN (Bagian 2): Diklaim Bukan Hak, Tergantung Kemampuan Fiskal

  • Meski banyak yang menganggap tukin sebagai hak dosen ASN, menurut Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Togar M. Simatupang, tunjangan ini bukanlah hak otomatis yang harus diberikan oleh negara.
Selamat datang dan selamat bertugas, Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidika...ogi Kabinet Merah Putih.Semoga senantiasa diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam menjalankan tugas mewujudkan mutu pend.jpg
Mendikti Satryo Soemantri Brodjonegoro. (Instagram/@kelembagaanadvokasi)

JAKARTA - Polemik tunjangan kinerja (Tukin) bagi dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) terus memanas. Selama lima tahun terakhir (2020-2024), ribuan dosen ASN di kementerian ini belum menerima tukin, sementara ASN di kementerian dan lembaga lain telah menikmati hak tersebut. 

Meski banyak yang menganggap Tukin sebagai hak dosen ASN, menurut  Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Togar M. Simatupang, tunjangan ini bukanlah hak otomatis yang harus diberikan oleh negara. 

Menurut Undang-Undang ASN No. 20 Tahun 2023, pemberian Tukin harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, berbasis kinerja dan kontribusi, serta mempertimbangkan kemampuan fiskal negara.

"Jadi, Tukin itu bukan otomatis dan jangan sampai menabrak peraturan," tegas Togar  di Jakarta, dikutip Kamis, 6 Februari 2024.

Artinya, pemerintah tidak bisa serta-merta membayar Tukin tanpa memastikan bahwa dana tersebut tersedia dan digunakan secara efektif. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat anggaran negara harus dialokasikan untuk berbagai sektor prioritas.

Pemberian Tukin tidak hanya menjadi tanggung jawab Kemendikti Saintek, tetapi juga melibatkan kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Proses koordinasi ini seringkali memakan waktu dan membutuhkan kesepakatan dari berbagai pihak. Tanpa dukungan penuh dari semua pihak, pencairan tukin akan sulit dilakukan.

Perlu dicatat bahwa dosen di Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) tidak termasuk dalam kelompok yang berhak menerima tukin. 

PTN-BH memiliki mekanisme pendapatan sendiri yang berbeda dengan PTN Satker dan PTN BLU. Hal ini menambah kompleksitas dalam penentuan siapa yang berhak menerima tukin dan bagaimana mekanisme pembayarannya.

Besaran Tukin Dosen

Besaran Tukin dosen ASN tidaklah kecil. Berdasarkan jabatan, tukin untuk Asisten Ahli (Kelas 9) mencapai Rp5,07 juta per bulan, Lektor (Kelas 11) Rp8,7 juta, Lektor Kepala (Kelas 13) Rp10,9 juta, dan Profesor (Kelas 15) Rp19,2 juta. 

Jumlah ini tentu membutuhkan alokasi anggaran yang besar, terutama jika harus membayar tunggakan selama lima tahun.

Menanggapi polemik ini, para dosen ASN Kemendikti Saintek telah melakukan berbagai aksi protes, termasuk petisi dan unjuk rasa. Mereka menuntut hak mereka untuk menerima tukin, yang dianggap sebagai kewajiban negara. 

Serikat Pekerja Kampus dan Koalisi Independen Kampus untuk Advokasi (KIKA) juga menyuarakan bahwa hak dosen tidak boleh diabaikan, termasuk untuk periode 2020-2024.

Di sisi lain, Kemendikti Saintek telah berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk mencari solusi. Namun, berdasarkan keterangan resmi, tukin yang kemungkinan besar bisa dicairkan hanya untuk periode 2025, bukan untuk tahun-tahun sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, pembayaran tukin dosen ASN Kemendikti Saintek untuk periode 2020-2024 hampir mustahil dilakukan. Kendala birokrasi, periode anggaran yang telah berlalu, dan keterbatasan kemampuan fiskal menjadi faktor utama. 

Meski demikian, upaya untuk memastikan pembayaran tukin pada periode mendatang terus dilakukan, meski dengan prinsip kehati-hatian dan transparansi.

Polemik ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem penganggaran dan koordinasi antar-kementerian, agar hak-hak dosen ASN dan tenaga pendidik lainnya dapat terpenuhi tanpa menimbulkan masalah di kemudian hari.