Tren Leisure

Jejak Indonesia di Madagaskar, Bukti Ilmiah Migrasi Pelaut Nusantara 1.500 Tahun Lalu

  • Penelitian membuktikan asal-usul orang Madagaskar berasal dari pelaut Nusantara 1.500 tahun lalu, jejaknya masih hidup hingga kini.
graphic-node-yPSbirjJWzs-unsplash.jpg
Flora Madagaskar (Unspalsh)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Tidak banyak yang tahu bahwa di pulau besar di sebelah timur Afrika, Madagaskar, hidup jutaan orang yang memiliki darah dan bahasa yang berakar dari Indonesia. 

Fenomena ini bukan sekadar legenda atau mitos pelaut Nusantara, melainkan kisah migrasi luar biasa yang telah dikonfirmasi oleh penelitian ilmiah lintas disiplin, dari ahli bahasa, antropologi, hingga genetika molekuler. 

Sekitar 1.500 tahun yang lalu, sekelompok pelaut ulung dari kepulauan Nusantara berlayar menyeberangi Samudra Hindia sejauh hampir 8.000 kilometer, membawa serta bahasa, budaya, teknologi pertanian, dan bibit kehidupan baru ke sebuah pulau terpencil yang kini dikenal sebagai Madagaskar. 

Perjalanan ini dikenal lewat Teori Migrasi Trans-Samudra Hindia, salah satu bab paling menakjubkan dalam sejarah peradaban manusia dan menjadi bukti bahwa bangsa Austronesia, nenek moyang orang Indonesia modern telah menguasai lautan jauh sebelum bangsa Eropa memulai era penjelajahan global.

Bahasa yang Menjadi Bukti Awal

Jejak paling jelas dari hubungan Indonesia-Madagaskar ditemukan dalam bahasa Malagasi, bahasa resmi dan nasional Madagaskar saat ini. 

Kajian linguistik menunjukkan bahwa bahasa Malagasi tergolong dalam rumpun Austronesia, sama seperti bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Tagalog di Filipina, hingga bahasa Maori di Selandia Baru. 

Ahli linguistik asal Norwegia, Otto Christian Dahl, menjadi tokoh penting yang pertama kali menelusuri hubungan tersebut secara sistematis. 

Dalam karyanya tahun 1951 berjudul “Malgache et Maanjan: Une comparaison linguistique”, Dahl membandingkan bahasa Malagasi dengan bahasa Ma’anyan, yang digunakan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan bagian Tenggara. 

Hasilnya menakjubkan, kata-kata dasar seperti tanana (tangan), maty (mati), dan dimy (lima) menunjukkan kesamaan mencolok baik dari segi kosakata maupun struktur tata bahasa. 

Dahl menyimpulkan bahwa para leluhur orang Malagasi kemungkinan besar berasal dari wilayah Kalimantan Selatan, kemudian berlayar menuju barat menyeberangi lautan luas menuju Afrika. 

Penelitian Dahl menjadi tonggak awal dalam menghubungkan Madagaskar dengan dunia Austronesia, membuka jalan bagi penyelidikan ilmiah yang lebih mendalam di masa berikutnya.

Genetika dan Arkeologi

Setengah abad kemudian, bukti ilmiah dari bidang genetika datang memperkuat teori yang dulu hanya didasarkan pada bahasa dan budaya. 

Artikel ilmiah berjudul “Genetics probes the origins of the Malagasy people” karya John Travis, yang diterbitkan di jurnal Science, volume 288, halaman 419-421, pada 21 April 2000, melaporkan temuan revolusioner tentang asal-usul genetis penduduk Madagaskar. 

Berdasarkan studi DNA yang dilakukan oleh tim ilmuwan internasional, termasuk Murray Cox dari Massey University, Selandia Baru,  diketahui bahwa genetik masyarakat Malagasi merupakan campuran hampir seimbang antara keturunan Asia Tenggara dan Afrika Timur. 

Analisis DNA mitokondria menunjukkan bahwa komponen Asia tersebut paling mirip dengan populasi di Kalimantan bagian selatan dan tenggara, wilayah yang juga menjadi tempat tinggal penutur bahasa Ma’anyan. 

Penelitian ini sekaligus menjadi konfirmasi biologis terhadap teori migrasi dari Nusantara yang telah lama diajukan oleh para ahli bahasa. 

Temuan lain datang dari bidang arkeologi dan antropologi yang menemukan kesamaan budaya antara Madagaskar dan Indonesia, seperti teknik menanam padi di sawah basah, bentuk perahu bercadik yang identik, alat musik valiha yang serupa dengan kacapi atau sasando, serta sistem sosial berbasis kekerabatan yang menyerupai pola masyarakat Austronesia. 

Bahkan tradisi upacara kematian di beberapa daerah Madagaskar memiliki kemiripan dengan tradisi Toraja atau Batak, yang sama-sama menekankan penghormatan kepada leluhur.

Migrasi Kemampuan Navigasi

Bagaimana mungkin pelaut dari Indonesia bisa menyeberangi samudra sejauh ribuan kilometer tanpa kompas modern? Jawabannya terletak pada kehebatan teknologi maritim dan kemampuan navigasi bangsa Austronesia kuno. 

Mereka dikenal sebagai pelaut tangguh yang menguasai teknik membaca bintang, arus laut, arah angin, dan migrasi burung. Kapal bercadik ganda yang mereka gunakan memiliki stabilitas tinggi dan mampu melintasi ombak besar di Samudra Hindia. 

Para arkeolog dan sejarawan menduga bahwa migrasi ini bukan perjalanan acak, melainkan ekspedisi terencana yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan keterampilan pertanian dan pelayaran tinggi. 

Ada kemungkinan motivasi migrasi ini terkait dengan tekanan populasi, pencarian lahan baru, atau dorongan perdagangan rempah dan hasil bumi.

Beberapa model migrasi bahkan memperkirakan perjalanan dilakukan secara bertahap melalui jalur pesisir India dan Afrika Timur sebelum akhirnya mencapai Madagaskar. 

Apapun motifnya, keberhasilan ekspedisi ini menegaskan bahwa pelaut Nusantara adalah pionir sejati dalam sejarah navigasi dunia, jauh sebelum era Columbus atau Vasco da Gama.

Warisan Budaya

Warisan budaya dan genetik Indonesia masih sangat terasa di Madagaskar hingga kini. Bahasa Malagasi, yang dituturkan oleh lebih dari 28 juta penduduk, masih menyimpan lebih dari 90 persen kosakata dasar yang serumpun dengan bahasa-bahasa Indonesia dan Filipina. 

Di bidang kuliner dan pertanian, padi, bukan gandum atau jagung tetap menjadi makanan pokok utama masyarakat Madagaskar, menunjukkan kesinambungan budaya agraris dari Asia Tenggara. 

Di beberapa wilayah pedalaman, masyarakat Madagaskar juga masih memainkan alat musik valiha, alat berdawai yang terbuat dari bambu, sangat mirip dengan kacapi Sunda atau sasando dari Nusa Tenggara Timur. 

Sementara itu, nilai-nilai sosial seperti penghormatan kepada leluhur, musyawarah keluarga, serta kepercayaan pada roh nenek moyang juga menunjukkan jejak spiritual Austronesia yang mendalam. 

Namun, setelah kedatangan bangsa Afrika Timur melalui perdagangan dan pernikahan campur, budaya Malagasi menjadi mozaik yang indah, perpaduan antara warisan Asia dan Afrika. 

Kombinasi genetik dan budaya inilah yang menjadikan bangsa Madagaskar unik di dunia, sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah bagian penting dari sejarah pembentukan identitas bangsa tersebut.

Teori Migrasi Trans-Samudra Hindia kini diakui sebagai salah satu pencapaian luar biasa manusia pramodern. Ia membuktikan bahwa ribuan tahun sebelum Eropa mengenal navigasi global, pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra dan menjalin hubungan antara dua benua. 

Penelitian lintas disiplin, mulai dari linguistik Otto Dahl hingga genetika yang dilaporkan John Travis dalam Science, telah menyusun potongan teka-teki yang sama, bahwa sebagian besar penduduk Madagaskar adalah keturunan para pelaut Indonesia kuno. 

Jejak itu tidak hanya hidup dalam DNA dan bahasa, tetapi juga dalam budaya, tradisi, dan cara hidup mereka hingga hari ini. Madagaskar menjadi saksi bahwa sejarah Indonesia tidak berhenti di gugusan Nusantara, melainkan berlanjut melintasi lautan menuju Afrika, kisah menakjubkan tentang keberanian, kecerdikan, dan semangat eksplorasi manusia dari timur yang menulis sejarah dunia dengan layar dan angin.