Tren Pasar

Industri Batu Bara Lesu, Kenapa Saham COAL Justru Terbang Gila?

  • PT Black Diamond Resources (COAL) membidik produksi 1 juta ton pada 2026. Optimisme manajemen kontras dengan proyeksi APBI yang mewaspadai tekanan harga dan kenaikan biaya akibat B50.
Tongkang Batu Bara Digambarkan Mengantri untuk Ditarik di Sepanjang Sungai Mahakam di Samarinda
Tongkang Batu Bara Digambarkan Mengantri untuk Ditarik di Sepanjang Sungai Mahakam di Samarinda (Reuters/Willy Kurniawan) (Reuters/Willy Kurniawan)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Pergerakan saham PT Black Diamond Resources Tbk (COAL) menjadi fenomena menarik di lantai bursa menjelang penutupan tahun 2025. Hingga perdagangan Senin, 15 Desember 2025, saham ini tercatat mengalami koreksi harian sebesar 5,30% ke level Rp125 per saham, namun tren jangka panjangnya tetap mencatatkan kinerja luar biasa.

Secara year-to-date (ytd), saham COAL telah meroket sebesar 98,41%, hampir menyentuh kenaikan dua kali lipat alias bagger. Kinerja agresif ini menjadi anomali tersendiri, mengingat Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) justru memproyeksikan harga komoditas emas hitam ini akan cenderung stagnan dan penuh tantangan pada tahun 2026.

Divergensi antara harga saham yang terbang tinggi dan sentimen industri yang landai memicu perhatian pelaku pasar. Sementara investor ritel antusias dengan volatilitas COAL, pelaku industri justru sedang bersiap menghadapi tekanan biaya produksi dan ketidakpastian permintaan global yang diprediksi masih akan berlanjut tahun depan.

1. Volatilitas COAL: Koreksi Wajar Pasca-Reli

Meskipun mengalami tekanan jual pada awal pekan ini, posisi harga COAL saat ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan posisi awal tahun. Kenaikan signifikan mulai terjadi sejak akhir November, terutama setelah saham ini resmi keluar dari papan pemantauan khusus full call auction (FCA) yang membatasi likuiditas transaksi sebelumnya.

Lonjakan harga ini terjadi di tengah kinerja fundamental yang sebenarnya belum pulih sepenuhnya. Laporan keuangan semester I-2025 menunjukkan penurunan pendapatan dan laba bersih dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sehingga kenaikan harga saham saat ini dinilai lebih didorong oleh sentimen pasar dan aksi korporasi ketimbang fundamental murni.

Investor pemula diingatkan untuk waspada terhadap risiko volatilitas tinggi. Kesenjangan antara harga pasar yang melambung dan kinerja keuangan yang terkoreksi seringkali memicu aksi ambil untung (profit taking) mendadak. "Membeli di puncak euforia bisa berisiko tinggi karena sering terjadi kesenjangan antara harga dan fundamental," catat analisis pasar Ajaib Sekuritas.

2. Target Produksi 1 Juta Ton di 2026

Di sisi internal perusahaan, manajemen Black Diamond Resources menatap tahun 2026 dengan optimisme tinggi. Perseroan menargetkan volume produksi batu bara dapat menembus angka 1 juta ton per tahun melalui anak usahanya, meningkat signifikan dibandingkan realisasi tahun 2025 yang terhambat faktor alam.

Tahun ini, realisasi produksi diperkirakan hanya mencapai 60% dari target akibat cuaca ekstrem di Kalimantan Tengah. Curah hujan yang tinggi menghambat operasional tambang. Namun, dengan asumsi cuaca yang lebih kondusif tahun depan, perseroan yakin efisiensi operasional akan meningkat dan biaya penambangan dapat ditekan.

Strategi utama perseroan adalah memprioritaskan penambangan di area dengan stripping ratio (SR) rendah untuk menjaga margin keuntungan. "Harga batu bara dunia saat ini mengalami kenaikan. Kami harap harga tersebut bisa stabil, dan memberi aspek positif kepada perseroan," ucap Direktur Utama Black Diamond Resources, Donny Janson Manua dalam keterangannya pada Senin, 15 Desember 2025. 

3. APBI: Harga 2026 Cenderung Stagnan

Berbeda dengan gairah di saham COAL, pandangan industri secara makro justru lebih konservatif. Direktur Eksekutif APBI, Gita Mahyarani, menilai harga batu bara global tahun depan tidak akan bergerak liar. Pasar diprediksi akan mirip dengan kondisi akhir 2025, di mana harga bergerak menyamping (sideways).

Faktor penentu utama tetaplah permintaan riil (supply-demand), bukan sekadar sentimen sesaat. Meskipun pasar ekspor utama seperti China masih membutuhkan pasokan batu bara Indonesia, besarnya produksi domestik China dan India menjadi penyeimbang kuat yang menahan potensi lonjakan harga jual di pasar internasional.

Kenaikan harga yang signifikan dinilai sulit terjadi kecuali ada gangguan geopolitik mendadak yang mengganggu rantai pasok energi global. "Apakah ada peningkatan signifikan? Enggak juga karena harga komoditas, terutama batu bara, ini sangat ditentukan oleh permintaan itu sendiri," kata Gita belum lama ini dalam sebuah diskusi.

4. Tantangan Biaya: Biodiesel B50 dan Royalti

Pelaku industri juga menyoroti ancaman kenaikan ongkos produksi pada 2026. Sekjen APBI Haryanto Damanik mengingatkan dampak kebijakan mandatori biodiesel B50. Peningkatan campuran bahan bakar nabati ini diperkirakan akan mengerek biaya bahan bakar operasional tambang sekitar US$1–2 per ton.

Kenaikan biaya ini akan menggerus margin keuntungan perusahaan tambang secara langsung. Selain itu, pengusaha juga mengeluhkan formula Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang seringkali menciptakan selisih (gap) besar dengan harga pasar aktual, sehingga beban pembayaran royalti kepada negara menjadi tidak proporsional dengan pendapatan riil.

APBI mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini secara komprehensif agar tidak mematikan daya saing industri nasional. "Kebijakan ini harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi pengurangan subsidi, tetapi juga dampaknya terhadap industri dan penerimaan negara," tegas Haryanto.

5. Pasar Global: Rusia dan Diversifikasi

Dari kacamata global, Analis Argus Media menilai bahwa ruang penurunan harga batu bara sudah terbatas (limited downside). Pasar masih menunggu kepastian arah kebijakan produksi dari negara-negara eksportir utama serta dampak sanksi ekonomi lanjutan terhadap Rusia yang mengubah peta perdagangan energi dunia.

Produsen Rusia terbukti adaptif dengan mengalihkan pasokan dari Eropa ke Asia, khususnya China, yang memperketat persaingan bagi batu bara Indonesia. "Produsen Rusia cukup berhasil mengalihkan sebagian besar kelebihan pasokan mereka setelah larangan batu bara oleh Uni Eropa," jelas Andrew, analis dari Argus Media.

Merespons dinamika global ini, Black Diamond Resources mulai menjajaki diversifikasi ke sektor mineral terkait Energi Baru Terbarukan (EBT). Meski masih tahap awal, langkah ini dinilai strategis untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara termal di masa depan.