IHSG dan Rupiah, Jejak Pasar Modal di Era Megawati hingga Prabowo
- Pasar modal sebagai cermin ekspektasi ekonomi Indonesia. Telusuri tren IHSG dan Rupiah dari masa ke masa dalam pergantian rezim politik.

Muhammad Imam Hatami
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar Rupiah selalu menjadi cermin ekspektasi dunia usaha terhadap arah ekonomi nasional. Sejak era Megawati Soekarnoputri hingga Prabowo Subianto, pasar modal mencatat pola yang berbeda, dipengaruhi variabel politik domestik, kebijakan fiskal dan moneter, hingga turbulensi global.
Pasar bukan sekadar angka di papan perdagangan, pasar merekam harapan, kecemasan, dan kepercayaan investor terhadap masa depan Indonesia.
Perubahan rezim selalu menimbulkan spekulasi. Setiap presiden membawa gaya, strategi pembangunan, serta sentimen pasar yang berbeda. Dalam konteks tersebut, Indonesia mengarungi puncak ekspektasi hingga titik koreksi tajam di tengah ketidakpastian global.
Dilansir TreAsia dari berbagai sumber, Selasa, 28 Oktober 2025, berikut sederet fakta mengenai pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah dari masa ke masa seiring pergantian presiden di Indonesia.
Era Megawati
Pada tahun pertama Megawati memimpin, IHSG mencatat kenaikan tipis sekitar +2,3 persen. Stabilitas politik pasca krisis 1998 menjadi modal utama, meskipun investor masih berhati-hati. Agenda besar pemerintah pada periode itu berfokus pada pemulihan ekonomi, bukan ekspansi besar-besaran di pasar keuangan.
Rupiah menguat signifikan dari kisaran Rp12.000 hingga menutup era Megawati sekitar Rp8.900 per dolar AS. Pergerakan tersebut memperkuat narasi bahwa Indonesia tengah kembali membangun pondasi ekonomi yang lebih kokoh.
Baca juga : Jelang Perundingan Trump-Xi, Investor Beralih ke Sejarah sebagai Panduan
Era SBY
Pada awal kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, IHSG melesat +28,4 persen hanya dalam setahun. Sepanjang sepuluh tahun pemerintahannya, total kenaikan mencapai 498 persen. Kejayaan ini tidak lepas dari booming komoditas global serta stabilitas politik dan ekonomi yang kuat.
Nilai tukar Rupiah sempat mencapai level impresif Rp8.511 per dolar pada tahun 2011. Walaupun sempat tertekan saat krisis finansial global 2008, investor tetap optimistis terhadap prospek jangka panjang ekonomi Indonesia.
Era Joko Widodo
Ketika Joko Widodo mulai menjabat, IHSG justru terkoreksi sebesar -9,2 persen pada tahun pertama pemerintahan Joko Widodo, mencerminkan tingginya sensitivitas pasar terhadap dinamika eksternal pada periode tersebut.
Perlambatan ekonomi global, terutama akibat lesunya pertumbuhan di China dan penurunan harga komoditas dunia, memicu arus keluar modal asing dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Meskipun jumlah emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia terus bertambah sebagai sinyal peningkatan partisipasi korporasi di pasar modal, investor tetap menempatkan fokus utama pada risiko makroekonomi global yang berpotensi menekan kinerja keuangan perusahaan dan prospek investasi.
Rupiah juga menghadapi tantangan kompleks. Perang dagang Amerika Serikat - China, pandemi COVID-19, hingga perang Rusia-Ukraina mendorong volatilitas tinggi. Rupiah sempat menyentuh Rp16.605 pada pertengahan pandemi, meskipun kemudian menguat ke Rp15.060 pada September 2024.

Era Prabowo Subianto
Sejak Oktober 2024 hingga Oktober 2025, IHSG menguat +4,2 persen dengan tambahan 17 emiten baru serta kenaikan kapitalisasi pasar Rp2.600 triliun. Pemerintah menegaskan komitmen deregulasi, percepatan OSS, serta memperluas integrasi ekonomi melalui BRICS, IEU-CEPA, dan CPTPP.
Namun pasar belum sepenuhnya lepas dari tekanan geopolitik. Perang dagang AS–Tiongkok kembali mengencang, sementara kekhawatiran fiskal dalam implementasi program makan bergizi gratis sempat menimbulkan koreksi tajam yang memicu trading halt.
Rupiah juga masih bergerak melemah dalam rentang Rp15.490 – Rp16.950 per dolar AS. Pemerintah mengasumsikan kurs 2026 sekitar Rp16.500, sinyal bahwa tekanan eksternal masih mendominasi.
Baca juga : KUR BRI Tembus Rp130,2 Triliun, Pertanian Jadi Penopang Utama
Bursa Efek Indonesia sendiri telah menetapkan target ambisius pada 2029, yaitu menghadirkan 1.200 emiten dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp20.000 triliun dan Rising Net Tangible Assets (RNTA) senilai Rp20 triliun.
Target tersebut mencerminkan keinginan untuk menjadikan pasar modal sebagai motor utama pendanaan ekonomi nasional yang lebih mandiri.
Untuk mencapainya, Indonesia memerlukan setidaknya 245 perusahaan baru yang melantai di bursa dalam empat tahun ke depan. Pertumbuhan tersebut tidak cukup hanya mengandalkan kuantitas, tetapi juga menuntut peningkatan kualitas emiten, tata kelola perusahaan yang baik, serta kesiapan sektor industri masuk ke pasar publik.
Pencapaian IHSG menuju level 36.000 pada 2029 sangat mungkin terwujud selama pemerintah dapat menjaga kredibilitas fiskal, mengendalikan risiko eksternal yang berasal dari ketidakpastian global, serta mempertahankan kepercayaan investor domestik dan asing. Optimisme pasar harus diikuti stabilitas kebijakan agar ekspansi pasar modal berlangsung berkelanjutan.

Muhammad Imam Hatami
Editor