Ibrahim Traoré, Pemimpin Muda Afrika yang Menantang Dominasi Barat
- Presiden muda Burkina Faso, Ibrahim Traoré, menasionalisasi tambang emas asing dan membentuk aliansi baru dengan Rusia. Gaya kepemimpinannya yang anti-Barat memicu debat global tentang kedaulatan dan realita ekonomi.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA - Burkina Faso, sebuah negara kecil di Afrika Barat yang selama ini kurang disorot, kini menjadi pusat perhatian geopolitik dan perdebatan global berkat sosok muda bernama Ibrahim Traoré. Sejak merebut kekuasaan lewat kudeta militer pada tahun 2022 di usia 34 tahun, Traoré tampil sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi Barat, dengan gaya kepemimpinan yang kerap dibandingkan dengan ikon revolusioner Thomas Sankara.
Langkah paling radikal Traoré adalah menasionalisasi lima aset tambang emas milik asing, termasuk milik perusahaan multinasional seperti Endeavour Mining dan Lilium. Aksi nasionalisasi dilakukan melalui BUMN baru, Société de Participation Minière du Burkina (SOPAMIB), sebagai strategi mengamankan pendapatan negara dari komoditas emas yang menjadi penyumbang lebih dari 70% ekspor nasional.
"Akuisisi ini sejalan dengan kebijakan negara tentang kepemilikan kedaulatan atas sumber daya pertambangan untuk mengoptimalkan eksploitasi demi kepentingan penduduk," ujar pernyataan resmi pemerintah Burkino Faso dikutip Reuters, Senin, 30 Juni 2025.
Traoré juga merencanakan pembangunan kilang emas nasional pertama, upaya meningkatkan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor mentah. Meski dipuji oleh kalangan Pan-Afrikanis, kebijakan ini berisiko mengundang sengketa arbitrase internasional dan memperburuk iklim investasi asing, terutama jika dilakukan tanpa transparansi atau kompensasi yang adil.
Beredar luas informasi bahwa Traoré menolak bantuan dari lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia, namun data menunjukkan sebaliknya. Pada bulan Juni 2024, IMF tercatat menyetujui pencairan dana sebesar US$31,7 juta, sementara Bank Dunia menyetujui proyek US$100,4 juta pada September tahun yang sama.
Retorika anti-Barat memang kuat dalam narasi Traoré, tetapi dalam praktiknya, pemerintahannya tetap mengandalkan dukungan eksternal, sebuah ironi dari idealisme yang digaungkannya.
- Ekonomi Jepang Menyusut di Kuartal Pertama 2025, Tarif AS Picu Kekhawatiran Baru
- Pasir Vulkanik Jadi Pupuk? Begini Cara Warga Desa Cibuntu Mengubah Limbah Jadi Cuan
- Ending Squid Game 3 Penuh Kejutan, Peluang Spin-off?
Aliansi dengan Rusia dan Sahel
Dalam kebijakan luar negeri, Traoré jelas memutus ketergantungan historis terhadap Prancis, mantan penjajah Burkina Faso. Ia mengusir pasukan Prancis dan justru membuka pintu bagi paramiliter Rusia Wagner untuk membantu perang melawan kelompok jihadis. Di bidang ekonomi, perusahaan Rusia seperti Nordgold tetap diberi izin eksplorasi, mencerminkan sikap pragmatis, bukan sepenuhnya ideologis.
Traoré juga menggagas aliansi baru bersama Mali dan Niger, yaitu Alliance of Sahel States (AES), menarik diri dari ECOWAS, dan menerapkan kebijakan bersama seperti tarif impor regional. Gerakan ini menunjukkan aspirasi untuk membentuk blok independen yang berdaulat secara ekonomi dan militer.
Traoré tampil sederhana seragam militer, tanpa simbol kemewahan, dan sering mengunjungi medan perang. Ia dikenal aktif di media sosial, bahkan memanfaatkan teknologi AI untuk menyebarkan citra dirinya sebagai pemimpin "rakyat" dan "revolusioner". Salah satu video viral menampilkan selebritas global seperti Rihanna dan Beyoncé seolah memujinya yang ternyata palsu.
Narasi pan-Afrikanisme menjadi pilar utama pidatonya, seperti dalam KTT Rusia-Afrika 2023 dan PBB 2024, di mana ia menyerukan agar Afrika berhenti menjadi "boneka imperialis" dan menuntut kedaulatan sejati atas sumber daya.
Ibrahim Traoré bukan hanya simbol kemarahan generasi muda Afrika terhadap kegagalan demokrasi dan kemiskinan struktural. Ia adalah produk dari frustrasi kolektif terhadap ketidaksetaraan global.

Amirudin Zuhri
Editor
