Ekonomi Jepang Menyusut di Kuartal Pertama 2025, Tarif AS Picu Kekhawatiran Baru
- Ekonomi Jepang mencatat kontraksi tipis sebesar 0,2% secara tahunan pada kuartal pertama 2025. Angka ini direvisi naik oleh Bank Of Japan (BOJ) dari perkiraan awal yang mencatat penurunan 0,7%.

Muhammad Imam Hatami
Author


TOKYO - Ekonomi Jepang mencatat kontraksi tipis sebesar 0,2% secara tahunan pada kuartal pertama 2025. Angka ini direvisi naik oleh Bank Of Japan (BOJ) dari perkiraan awal yang mencatat penurunan 0,7%, berkat adanya kontribusi lebih besar dari inventaris dan konsumsi rumah tangga. Namun, risiko resesi teknis tetap membayangi jika tren ini berlanjut ke kuartal kedua.
Data BOJ menunjukkan persediaan barang yang mencakup barang-barang yang diproduksi tapi belum dikonsumsi atau diekspor dalam periode tersebut menjadi penyumbang positif terbesar dengan kontribusi 0,6 poin persentase, dua kali lipat dari estimasi awal.
Konsumsi pribadi, yang semula stagnan, tumbuh tipis 0,1%, sedangkan belanja bisnis naik 1,1%, meski sedikit di bawah proyeksi sebelumnya. Namun, ekspor neto justru menyumbang penurunan 0,8 poin persentase, menjadi faktor utama penyusutan ekonomi.
Penurunan ekspor terjadi sebelum kebijakan tarif baru Amerika Serikat diberlakukan pada April lalu. Presiden AS, Donald Trump kembali menaikkan bea masuk untuk mobil dan suku cadang asal Jepang hingga 25%. Kebijakan ini dikhawatirkan semakin menekan sektor manufaktur Jepang yang sudah lesu.
Melihat data ekonomi terbaru Ekonom Meiji Yasuda Research Institute, Kazutaka Maeda, memberikan tanggapan seputar PDB Jepang. Maeda menyatakan jika hanya melihat data PDB, sulit bagi Bank of Japan (BOJ) untuk membenarkan kenaikan suku bunga.
Ia menilai bahwa bank saat ini tidak memerlukan penurunan suku bunga, namun perlu menunggu dan mencermati perkembangan situasi. Secara keseluruhan, menurutnya, data yang dirilis lebih cenderung menjadi alasan untuk menunda kenaikan suku bunga.
"Jika hanya melihat hasil PDB, sulit bagi BOJ untuk membenarkan kenaikan suku bunga. Bank tidak memerlukan penurunan suku bunga, tetapi perlu menunggu dan melihat bagaimana keadaan akan berkembang. Secara keseluruhan, data hari ini lebih merupakan faktor yang menunda waktu kenaikan suku bunga." jelas Maeda, dikutip Japan Times, Selasa, 30 Juni 2025/
- Masih Lemah, Harga Emas Antam Kembali Turun Rp4.000
- Harga Sembako di DKI Jakarta: Beras Setra I/Premium Naik, Telur Ayam Ras Turun
- IHSG Hari Ini 30 Juni 2025 Dibuka Naik 1,66 Poin ke 6.899,06
Konsumsi Dalam Negeri Jepang
Di dalam negeri, BOJ mencatat nilai permintaan rumah tangga masih lemah. Konsumsi rumah tangga tak kunjung pulih, sementara inflasi tetap tinggi di atas 3% sejak Desember 2024 akibat kenaikan harga pangan dan energi. Situasi ini menambah tekanan bagi Perdana Menteri Shigeru Ishiba, yang popularitasnya merosot menjelang pemilu Majelis Tinggi pada Juli mendatang.
"Di balik lemahnya belanja konsumen ada persepsi masyarakat bahwa harga terlalu tinggi,” tambah Maeda.
Untuk meredam gejolak harga, pemerintah menggelontorkan subsidi utilitas dan distribusi beras murah kepada rumah tangga. Namun, kebijakan ini dinilai banyak pihak kurang efektif, terutama oleh partai oposisi yang terus mengkritik lemahnya upaya penanganan inflasi dan kebijakan ekonomi Ishiba.
"Kebijakan pemerintah dinilai kurang berdampak, jadi ada risiko masyarakat mendapat kesan bahwa pemerintah sebenarnya tidak melakukan apa pun.” ungkap Maeda.
Sementara itu, BOJ juga masih berhati-hati dalam merespons situasi ini. Dalam rapat kebijakan yang dijadwalkan 17 Juni mendatang, Gubernur BOJ Kazuo Ueda diperkirakan akan mempertahankan kebijakan moneter saat ini. Menurut Ueda, ketidakpastian terkait kebijakan tarif AS masih terlalu tinggi, dan para ekonom menilai belum saatnya BOJ menaikkan suku bunga di tengah rapuhnya konsumsi domestik.
- Masih Lemah, Harga Emas Antam Kembali Turun Rp4.000
- Harga Sembako di DKI Jakarta: Beras Setra I/Premium Naik, Telur Ayam Ras Turun
- IHSG Hari Ini 30 Juni 2025 Dibuka Naik 1,66 Poin ke 6.899,06
Perundingan Jepang-AS
Di panggung internasional, Jepang juga tertinggal dari Inggris dan China dalam menjalin kesepakatan dagang baru dengan Amerika Serikat. Hingga kini, perundingan dagang Jepang-AS belum mencapai hasil konkrit meski sudah memasuki putaran kelima. Pertemuan lanjutan dijadwalkan berlangsung di sela-sela KTT G7 akhir bulan ini.
Jika perundingan ini gagal membawa hasil positif, tekanan terhadap ekspor Jepang diperkirakan akan semakin berat pada paruh kedua 2025. Sejumlah analis menyebut kontraksi berlanjut di kuartal kedua bisa membawa Jepang masuk ke dalam resesi teknis, yang didefinisikan sebagai pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Meski demikian, ada secercah harapan dari sektor inventaris dan belanja modal yang masih mencatat pertumbuhan. Para pelaku industri berharap pelemahan yen dapat sedikit menahan tekanan pada sektor ekspor, meski kebijakan tarif baru AS tetap menjadi ancaman utama.
Dengan kondisi konsumsi domestik yang masih lesu, inflasi yang bertahan tinggi, dan ketidakpastian kebijakan dagang internasional, ekonomi Jepang diperkirakan akan tetap berada dalam tekanan signifikan setidaknya hingga pertengahan tahun ini.
Pemerintah Ishiba dan BOJ kini dituntut menghadirkan kebijakan yang lebih solid agar Jepang tidak kembali masuk ke jurang resesi di tengah tantangan global yang kian kompleks.

Amirudin Zuhri
Editor
