Tren Global

Daya Saing RI Merosot, Bonus Demografi Bisa Jadi Bumerang

  • Peringkat daya saing Indonesia turun drastis dari 27 ke 40. Pengangguran muda, pendidikan rendah, dan ekonomi stagnan jadi masalah utama. Anak muda perlu ambil peran sebelum bonus demografi terbuang sia-sia.
ed-us-_y4FqRhxkR8-unsplash.jpg
Siswa SMA (unsplash)

JAKARTA - Peringkat daya saing global versi World Competitiveness Ranking (WCR) 2025 baru saja dirilis IMD. Dari total 69 negara, posisi Indonesia melorot drastis dari peringkat 27 tahun lalu ke posisi 40 tahun ini. 

“Pascapandemi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan performa daya saing terbaik dalam peringkat WCR yang naik 11 peringkat,” ungkap Arturo Bris, Direktur IMD World Competitive Center (WCC), dalam keterangan tertulis, dikutip Senin, 23 Juni 2025.

Penurunan ini mengakhiri tren kenaikan selama tiga tahun berturut-turut, sekaligus menjadi sinyal peringatan serius terhadap fondasi ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia nasional.

Laporan tersebut menyebutkan sejumlah faktor penyebab utama kemerosotan daya saing Indonesia, mulai dari pengangguran yang tinggi, ketimpangan pembangunan antarwilayah, hingga infrastruktur dasar yang masih belum memadai. 

Di sisi lain, kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai masih rendah, dengan sistem kelembagaan yang dianggap lemah dalam mendorong efisiensi yang tepat sasaran dan reformasi birokrasi. 

“Oleh karena itu, efisiensi pemerintah jangan menjadi cita-cita ideal semata, tetapi harus dipraktikkan agar bisa membangun ketahanan ekonomi dan daya tarik investasi di tahun-tahun mendatang,” tambah Bris.

Dalam skala regional, ketegangan ekonomi akibat perang tarif dengan Amerika Serikat juga turut menekan daya saing negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Penurunan daya saing ini berdampak besar pada generasi muda yang kini menghadapi pasar kerja yang makin kompetitif dan sempit. Indonesia menempati posisi ke-62 dalam aspek pendidikan dan ke-63 dalam kesehatan. 

Rata-rata lama sekolah warga Indonesia tercatat hanya 8,85 tahun, atau setara tingkat SMP, padahal harapan lama sekolah mencapai 13,21 tahun. Ketimpangan ini berdampak langsung pada tingginya angka pengangguran usia muda (15–24 tahun), yang mencapai 16,16 persen, angka tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnya.

Masalah lain yang memperburuk situasi adalah standar kemiskinan nasional yang dinilai terlalu rendah dan tidak mencerminkan realitas biaya hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan pada angka Rp595.242 per bulan, sementara standar Bank Dunia yang lebih realistis menggunakan acuan US$8,40 per hari atau setara Rp4,14 juta per bulan. 

Jika menggunakan standar Bank Dunia, maka sebanyak 68,2 persen penduduk Indonesia, sekitar 194 juta orang, tergolong miskin. Kondisi ini mencerminkan rentannya daya beli masyarakat dan lemahnya perlindungan ekonomi terhadap kelompok produktif muda.

Bonus Demografi: Potensi Atau Ancaman?

Ironisnya, Indonesia saat ini tengah memasuki periode bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2028 hingga 2030. Namun, potensi ini bisa berubah menjadi bencana apabila tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai. 

Data terbaru kementerian tenaga kerja menunjukkan bahwa 23,79% pemuda Indonesia masuk kategori Not in Employment, Education, or Training (NEET), yang artinya mereka tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak mengikuti pelatihan keterampilan apa pun. 

Angka ini menunjukkan besarnya potensi SDM muda yang belum terkelola dengan optimal. Kemunduran daya saing juga diperparah oleh iklim investasi yang stagnan. Birokrasi yang berbelit, korupsi yang belum tuntas, serta ketidakpastian hukum membuat investor global ragu menanamkan modalnya di Indonesia. 

Akibatnya, sektor formal hanya mampu menyerap 40,6% dari total tenaga kerja nasional. Sebagian besar pekerja masih menggantungkan hidup pada sektor informal yang tidak stabil dan tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai.

Pemerintah saat ini telah menyediakan lebih dari 8.000 Balai Latihan Kerja (BLK) yang dapat dimanfaatkan untuk pelatihan sertifikasi berbasis kebutuhan pasar, termasuk pelatihan internasional seperti Google Career Certificates

Penurunan daya saing Indonesia bukan sekadar peringkat, melainkan peringatan keras bahwa negara ini tengah kehilangan momentum untuk melompat menjadi kekuatan ekonomi regional. 

Namun, jika ditangani dengan serius dan melibatkan peran aktif generasi muda sebagai motor perubahan, krisis ini justru bisa menjadi awal dari transformasi besar.

Dengan bonus demografi yang akan berakhir dalam lima tahun ke depan, investasi pada SDM muda saat ini akan menjadi penentu apakah Indonesia akan menjadi macan Asia berikutnya atau justru terjebak selamanya dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle-income trap).